Ketika El sampai rumah pada pukul tujuh malam, dahinya berkerut banyak mendengar suara tangisan. Didera cemas, takut terjadi apa-apa terhadap Ica, ia bergegas menuju asal tangis berada.
Ia mendapati Ica di dapur. Berdiri di depan wastafel. Saat didekati gadis itu tengah mencuci jarinya yang berdarah sambil menangis.
"Apa yang terjadi dengan tanganmu?"
"Ta—tadi Ica potong ayam, gak sengaja jari Ica ikut kepotong juga! Darahnya gak berhenti-berhenti, El. Perih."
El membawa telunjuk Ica yang terluka ke mulutnya, mengisapnya pelan. Seketika tangis Ica berubah pendek-pendek dan perlahan surut. Seiring mata bulatnya yang berair menatap heran kelakuan El pada jarinya.
"Apa yang El lakukan?"
"Menyembuhkan lukamu. Cara ini efektif untuk menghentikan luka kecil seperti ini."
Pria itu melakukannya dua kali. Dan ia menanyakan hasilnya, "bagaimana? Sekarang tidak perih lagi?"
Ica menggeleng hingga dua ikatan rambut di kanan kiri kepalanya, bergoyang. "Enggak."
Kemudian, El mengambil kotak di mana ia menyimpan beberapa obat merah, plester luka dan obat ringan lainnya di kamarnya. Ia kembali dengan benda itu dan menyuruh Ica duduk di kursi bar.
Dengan telaten, El membebat jemari lentik itu dengan plester luka.
"El, vampir, ya? Suka isap darah."
"Tidak ada vampir di dunia ini. Vampir cuma mitos, dongeng fantasi." Untung lelahnya tidak mempengaruhi stok pasokan sabarnya, jika tidak mungkin El sudah mengamuk dan membuat Ica tidak bisa berjalan di pagi harinya.
El, kau sudah gila sempat-sempatnya berpikiran ke arah sana. Salahkan asmodeus-nya yang kurang ajar.
"Tidak usah memasak. Kita delivery saja."
"Tapi Ica mau masak. Ica mau buktiin kalau Ica bisa masak enak," rengeknya. Matanya kembali berair.
"Tanganmu nanti terluka lagi. Nangis lagi."
"Kali ini gak, Ica janji akan hati-hati."
"Tidak tetap tidak!" El melepas celemek abu-abu yang melekat di tubuh Ica. Lantas mengangkat tubuh mungil itu tanpa kendala. Menjauhi dapur segera. Usaha Ica memberontak pun sia-sia, El dua kali lebih besar dari tenaga gadis itu.
Di sofalah El meletakkan Ica yang tidak berhenti merengek.
"El jahat! Minggir! Ica mau masak!"
El yang tidak ingin melepaskan Ica, dengan mudah mengurungnya. Dalam posisi membungkuk, ia memangkas jarak hingga menyisakan beberapa senti saja dari wajah Ica.
"Aku tidak suka dilawan, Ica." Kalau El sudah mengumbar aura ditaktornya, maka artinya ia sangat marah dan tidak ada seorang pun yang ia biarkan lolos cuma-cuma.
"Tapi—tapi—tapi—tapi—tapi—tapi ...."
Rentetan 'tapi' tidak sampai selesai. El keburu membungkam mulut Ica dengan tangannya yang besar.
"Turuti mauku atau aku marah."
Tidak ada hal yang mengerikan ketimbang marah El. Ica beringsut. Niat menggigit sirna. Ia menekan punggung kakunya ke kepala sofa. Mengakhiri pemberontakan. Ia menjelma menjadi gadis manis yang menggemaskan.
El menyeringai puas. Lantas melepas Ica. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menghubungi restoran langganan. Menyebutkan tiga box besar pizza varian rasa.
"Duduk manis di sini selama pesanannya datang dan jangan mengubah posisi sampai aku selesai mandi, mengerti?" Begitu ancaman El setelah mengantongi ponselnya lagi.