4.

900 89 6
                                    

"Leon! Kamu dicariin malah di sini. Kembali ke kubikel kamu. Bantu saya masukin data."

Sial! Seniornya di divisi HRD datang di saat tidak tepat, saat ia mencoba untuk membantu gadis imut yang merengek karena tersesat.

"Tapi, Mas. Bocah ini tersesat. Saya mau bantu."

Senior itu melirik Ica yang duduk menekuk lutut, menyender pada pot besar. Membersit tersendat-sendat. Jiwa kebapakannya pun terpanggil. Ia juga punya anak usia lima tahun. Yang kalau sudah menangis, tidak bisa ngapa-ngapain selain menyusutkan tangisnya dengan bujukan lembut.

"Bawa ke bagian keamanan, nanti satpam yang bantu menemukan orang tuanya. Bisa-bisanya ada anak kecil tersesat di sini. Bukannya gak boleh bawa anak ke kantor, kecuali anak petinggi direksi."

"Waduh, terus gimana, dong?" Kalau emang anak dari petinggi direksi, urusannya bakalan panjang. Leon gak mau kena getah.

"Saya hubungi Pak Budi bagian keamanan."

Pak Budi pun datang bak pahlawan penyelamat. Ia mendengar keterangan prahara di tempat kejadian. Hanya sekelebat melirik pada Ica, tulang sumsumnya langsung meremang.

"Istri Pak CEO."

Sontak Leon dan senior itu menjaga jarak. Berlindung di balik punggung besar Pak Budi. Seolah Ica makhluk berbahaya yang harus dijauhi. Sebetulnya yang lebih berbahaya bukan Ica, melainkan siapa suaminya. Orang nomor satu di perusahaan itu. Kalau orang itu tahu istrinya menangis, tentu yang bakal kena getah orang-orang yang terlibat di dalamnya, meskipun mereka bertiga bukan penyebab Ica menangis. Tetap saja wajah tidak ramah bukan pemandangan bagus untuk dinikmati walau hanya sedetik. Sesungguhnya kemarahan El adalah hal terakhir yang mereka inginkan.

Kemelut itu berlanjut saling lempar tanggung jawab, saling tunjuk siapa yang akan menjadi tumbal untuk menghubungi El langsung. Tiga pria dewasa tersebut perlu dipertanyakan status kelelakiannya, kalau sudah berhubungan langsung dengan El.

"Kamu, kan keamanan di sini, Bud. Kamu saja!"

"Lho, siapa yang pertama menemukan Nona Ica, dialah yang harusnya bertanggung jawab!"

Dua kepala itu langsung melempar tatapan tuduhan kepada Leon yang sudah seperti ikan sekarat. "Eits, aku kan anak baru. Gak tahu apa-apa. Yang senior harusnya membimbing dan memberi contoh tanggung jawab kepada juniornya."

Sebenarnya mereka mulai tidak masuk akal dengan perdebatan serupa anak kecil.

Selama berdebat sepuluh menit tidak terlihat ujung penyelesaian. Akhirnya jalan tengah diambil. Hubungi Kafka. Karena selama masalah dibiarkan dalam perdebatan unfaedah, justru masalah itu sendiri yang akan mengancam karier mereka masing-masing.

Dengan keberanian yang diberani-beranikan, Leonlah yang didesak untuk menghubungi Kafka setelah kalah dalam pergulatan batu, gunting kertas. Batu sialan! Bapak-bapak sialan! Kenapa ia yang dikorbankan?

"Halo ... Anu Pak. Saya Leon. Mahasiswa magang divisi HRD. Anu, Pak ...."

"Anu apa?! Cepat katakan!"

Setelah anu yang  ke sekian, akhirnya Leon berani mengungkapkan fakta.

Menutup telepon, wajahnya yang oriental sudah sepucat mayat. Gimana nasib tugas akhirnya?

Bahkan dia sempat mengagumi gadis ini yang dikira masih SMP dan nyaris jadi target mangsa buruannya selanjutnya.

Leon mau menggali lubang kuburnya sendiri dulu.

***

Semburan kelegaan, mengisi paru-paru Kafka. Istri bosnya tidak hilang. Hanya tersesat.

Sekarang sedang menikmati secangkir coklat panas dan dikelilingi box bermacam-macam makanan di kantor El. Wanita itu tidak lagi menangis. Mampus kalau menangis, Kafka harus siap jiwa raga untuk menghadapi kemarahan El.

"Om mau?" Ica menawarkan sepaha ayam krispy yang langsung ditolak Kafka.

"Untuk Nona saja, saya kenyang. Maaf, Nona. Sebaiknya hubungi saya jika ada perlu apa-apa dan bilang-bilang dulu kalau mau melakukan apa-apa. Supaya saya tidak cemas."

Lebih tepatnya, mencemaskan kariernya.

Dua daun pintu kaca itu tersingkap kasar. Presensi wajah garang El membuktikan kecemasan Kafka. Memasrahkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, berusaha bersikap seperti saat-saat dulu El mengamuk.

"Aku tidak mau hal ini terulang lagi!"

El melancipkan anak panah matanya dan langsung ditancapkan pada Kafka. Untung pengalaman berbicara banyak, membantunya jadi asisten tangguh yang tidak gampang kena sawan setiap menghadapi temperamental bosnya.

"Maaf." Kafka menunduk. "Saya pastikan kejadian tadi tidak terulang kembali. Soal tiga karyawan yang menemukan Ica ...."

"Sampaikan rasa terima kasihku pada mereka," potong El cepat.

Sadar atau tidak, kehadiran Ica menekan ego El yang dulu setinggi langit. Pria itu sekarang lebih banyak bersabar, tidak seperti dulu yang apa-apa tidak kenal ampun perihal kesalahan sekecil apa pun. Kafka perlu bersyukur banyak-banyak. Kantor tidak terasa seperti api neraka.

"Keluarlah."

"Baik!" Kafka memang ingin keluar sedari tadi. Dan kesempatan itu cepat-cepat ia laksanakan.

El mendekati istrinya yang tidak mempedulikan apa-apa selain makanannya. Satu embusan panjang, ia dorong kasar lantas mendekat. Ambil duduk di sebelah Ica.

"Kamu membuatku cemas, Sayang."

"El, mau?" Ayam baru Ica ambil, setelah ayam sebelumnya bersih dari daging. Menyodorkannya tepat ke hidung El.

"Aku sedang marah, Ica."

Rahang yang mengeras bukan pertanda baik, Ica pun menurunkan paha ayam. Mencebik. "Maaf. Abis kantor El keren. Ica gak tahan mau lihat-lihat semua ruangan di gedung ini." Bulatan besar ia peragakan dengan dua lengannya untuk menggambarkan seberapa luas gedung itu.

"Kamu bisa meminta aku menemani."

"El sibuk." Sekarang giliran Ica yang kesal. Ditinggal sendirian sungguh tidak nyaman. "Salah sendiri sibuk, Ica jadi tersesat."

Oh! Sekarang gadis itu sudah pintar menyalahkan orang.

"Lain kali telepon aku, atau Kafka. Kalau terulang lagi, jangan harap bisa ke sini lagi."

"Kejam!" Ica kembali menggerogoti besar paha di tangannya, sebagai pelampiasan sebal. Mulut, sebagian pipi bersimbah minyak dan saos. El berdecak. Menuntunnya segera mencari tisu untuk membersihkan wajah Ica.

"Ca, kamu harus dihukum."

"Uh, kenapa El suka sekali menghukum Ica!"

"Karena kamu selalu membuatku khawatir."

"Apa hukumannya?"

"Dasi." El berhenti mengusap pipi, beralih menatap kedalaman mata Ica. "Belajarlah mengikat dasi. Aku ingin setiap hari diikatkan dasi olehmu."

***

Di tempat lain, Leon yang sedang sibuk di balik PC terlonjak dari kursi putarnya. Menemukan Kafka orang yang diketahuinya sebagai asisten El menampakkan diri.

Mampus!

"Eh, anu. Pak Kafka. A—ada apa kemari?!"

"Saya hanya menyampaikan ucapan terima kasih mewakili Tuan El karena Anda sudah membantu Nona Marisa."

Setelah pesan tersampaikan, pria kaku itu menjauhi kubikel Leon.

Seketika Leon mengusap dada. Kaget, takut, semua lesap menguap bersama embusan napas.

Dia kira bakalan kena peringatan. Syukur. Lain kali jika kasus sama terulang, ia akan mengendalikan pikirannya agar tidak seenak udel.

____

Nulis ini di bawah atap yang digempur hujan lebat dan menahan siksaan nyeri haid. Di rumah orang lagi. 😆

Istri OonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang