"Ke mana perginya Gara yang suka ngingetin belajar? Apa lu sedang coba-coba jadi fakboy?"
Usaha Andi mengusik ketenangan Gara tidak membuahkan hasil apa-apa, justru cowok itu lebih sibuk mengukur jarak bidikan tongkat biliarnya supaya tepat memasukkan bola warna-warni itu ke lubang.
Mendengkus karena tidak diacuhkan, ia melirik pacarnya seraya menghabiskan setengah isi softdrink.
"Ndi, kayaknya Gara lagi ada masalah. Sikapnya gak biasanya," bisik Re. "Kamu gak berniat bicara sama dia?"
"Bodo. Selama dia gak terbuka. Bukan ranah gue untuk ikut campur. Gak usah mikirin orang lain, pikirin kita aja. Minta kissue, boleh?" Andi mengedip lengkap bibir monyong. Re yang duduk di sampingnya mengernyit jijik. Satu tamparan ia hadiahkan tepat mengenai muka Andi. Andi misuh-misuh.
"Berani kamu bertingkah mesum lagi, awas saja. Muka yang kamu banggakan itu bakalan bonyok."
Bukannya kecewa atau tersinggung, Andi justru terbahak. Ia melancarkan aksi gelitik maut sepanjang pinggang dan perut, hingga Re berjengit dan berteriak gondok.
Meninggalkan sepasang sejoli itu di sofa, Gara berhasil memasukkan bola hitam dan tepukan keras Ica menjadi perayaan penutupan yang keren.
"Gara, hebat! Bisa masukin semua bolanya ke dalam lubang."
Gara mengulum senyum. Penatnya tahu diri, tak ingin menetap terlalu lama kalau sudah melihat sebentuk bulan sabit di bibir ranum gadis itu.
Anggap waktu sedang berbaik hati sekarang. Mengizinkan Gara menikmati senyum itu sendirian. Sampai pada waktunya, ia perlu menyiapkan hati ketika waktu tidak akan sudi membiarkannya leluasa merasai manisnya senyum itu.
"Mau aku ajarin?"
Amat semangat kepala Ica bergerak naik turun. Gara hendak merapikan kembali bola-bola itu, tetapi getaran saku memaksanya angkat ponsel.
Suara tegas Kafka tanpa basa-basi di seberang sana berhasil memberi efek kejut. El kecelakaan dan Gara berjanji secepatnya akan datang.
***
Empat tahun bukanlah kurun waktu yang singkat. Selama itulah El percaya lamanya kebersamaan mereka menciptakan simpul mati yang mustahil diputus oleh siapa pun, bahkan orang tuanya sendiri. Yang El sebut sebagai kesetiaan.
Hal di luar spekulasilah yang justru telah menggenggam gunting dan dengan tega memotong tali tersebut yang mereka ikat sama-sama. Dalam jutaan janji manis sehidup semati dan harapan masa depan sebagai seduksi semanis madu. Ialah Kiara sendiri. Kekasihnya yang membawanya terperosok jauh ke dasar tumpukkan luka batin dan luka fisik.
Pria yang duduk lemah di ranjang rumah sakit itu sedang merapal keajaiban. Siapa tahu ia sedang bermimpi dan ketika terbangun simpul kesetiaan di antara mereka tak tergores sedikit pun.
Namun nyerinya kaki mengantarkan El pada kenyataan pahit. Bahwa pengkhianatan Kiara bukan delusi.
Pertanyaan demi pertanyaan bagai benang kusut sulit terurai. Apa kurangnya ia? Apa karena ia tidak bisa memberikan nafsu dunia kepada Kiara, lantas ia mencarinya pada pria lain?
Sialan! Ribuan umpatan pun tidak mengubah ingatan beberapa jam lalu menjadi khayalan semu. Justru mengerak menodai sistem neuronnya.
Bayangan pergumulan panas, desahan laknat harus ditutup amat dramatis dan tragis dengan tepukan hina bercampur amarah yang dihadiahkan El pada kedua manusia pendosa itu.
Bukannya klimaks puncak kenikmatan yang mereka gapai, justru syok akut mendapati El berdiri pongah di ambang pintu, sedang mati-matian meraup harga diri.