El menarik Ica keluar dari ballroom penuh sesak menuju koridor sepi dekat tangga darurat. Ia menghimpit tubuh mungil itu ke tembok. Mengungkungnya dengan tubuh besar El. Heels lima belas senti yang Ica pakai masih membuatnya harus mendongak untuk melihat bayangan dirinya di mata El.
"El, kenapa Ica dibawa kemari?" tanyanya lugu. Tidak sadar suaminya menyimpan banyak kekalutan.
Bukannya menjawab, El justru memainkan ujung rambut Ica, menggulungnya dengan jemari panjangnya. Makin ikal. Geming berlangsung lama. Cuma memainkan rambut dan menatap Ica lewat kedalaman matanya.
"I must be crazy to fall in love with you." Intonasi El begitu dalam penuh makna, rendah bercampur kepasrahan.
Ica mencebik. "Jangan pakai bahasa Inggris Ica gak ngerti, El."
El tidak berniat untuk meluruskan kata-katanya, melainkan ia meneruskan kalimat lain yang semakin membuat Ica kebingungan. "Aku selalu bertanya-tanya bagaimana cara kau menyingkirkan cinta pertamaku dan bagaimana kau dengan mudah menyembuhkan sakit hatiku, hem?"
Ica tidak tahu harus menjawab dengan apa saat ia tidak bisa meraih maksud dari perkataan El. Pada akhirnya ia cuma menggeleng.
El tidak lagi memainkan rambut. Berpindah fokus pada dagu, mengelus rahang, hingga naik ke pipi. Menikmati kebingungan di wajah cantik Ica selama inginnya terpenuhi.
Pesta tidak lagi dipikirkan. Tidak juga pada orang-orang yang bertanya ke mana perginya El dan Ica yang tiba-tiba. Atau keluarganya yang resah dengan aksi El membawa Ica kabur dan mengkhawatirkan diri Ica di tangan El yang bisa saja melakukan sesuatu hal yang dapat menyakiti Ica, tapi mereka tidak mencegah. Terutama Gara yang tidak berniat untuk mengejar. El tidak tahu, tapi syukurlah tidak ada pengganggu.
Ica memejamkan mata, terbuai kelembutan yang diberikan jari besar El pada pipinya. Lalu turun lagi pada permukaan bibir yang malam ini terpoles lipstik merah ombre.
"Aku tidak suka kamu dekat-dekat dengan Gara."
Seketika mata Ica terbuka lebar. "Ica tidak suka El dipegang-pegang perempuan tadi."
El menyeringai ironi. Ia meraih dagu Ica kasar. "Aku bosan mendengar jawaban itu terus dari mulutmu! Kau bilang tidak suka aku dicium perempuan lain. Kau juga tidak suka Gara dicium wanita lain. Kau bilang kau kangen aku, tapi kau menyukai Gara. Apa maumu, hah?!"
Ica tersentak. Tidak menyangka El akan semarah itu.
"Aku tidak mengira kau benar-benar bodoh soal perasaan! Kau membuatku gila. Aku harus bagaimana? Kau tidak bisa terus membuatku seperti ini. Jika kau menyukai Gara, go on. Aku akan melepasmu. Aku tidak akan mencintai wanita yang tidak mencintaiku. Aku lebih baik menyerah, daripada harus menanggung sakitnya cinta bertepuk sebelah tangan. Kau lakukan apa pun yang kau mau! Lanjutkan hubungan kalian, aku akan pergi!" El menyingkir dua langkah ke belakang. Tidak lagi ada kehangatan yang ditawarkan El untuk Ica. Ia memandang sejenak wajah Ica dengan penuh luka. Baru ia memutar tumit dan menjauh. Meninggalkan Ica yang mulai menangis.
Ica kehilangan kehangatan itu. Kehilangan seluruh pusat dunianya dalam sekejap. Meluruh ke lantai. Seakan seluruh energinya lenyap. Ia menatap kepergian pentofel El. Makin kabur. Mencegah dengan lolongan, "jangan pergi!" Pun sia-sia. El terlanjur mematikan hatinya untuk berbelas kasih.
Ica makin terisak kala sosoknya telah lenyap ditelan sepi. Tinggal Ica sendiri di koridor itu, tak tahu mau berbuat apa. Awalnya gembira bisa melihat El lagi, tetapi bertransisi secepat datangnya sedih itu sekarang.
"El pangeran Ica. Ica cuma mau El," gumamnya pada pualam yang tidak akan bisa melakukan apa apa, meski peduli.
"Wah, aku tidak pernah menyangka akan seperti ini jadinya."