"Kenapa kamu gak bilang acaranya di klub?!" Begitu Gara mendudukkan pantat, ia langsung melontarkan protes kepada Andi. Lumayan keras di tengah bising musik hard beat."Kalau gue bilang, lo pasti bakalan nolak."
"Kamu tahu sendiri aku anti datang ke sini! Kenapa masih memaksa?!"
"Gar, jangan jadi cowok kolot, deh. Sekali-kali lo bersenang-senang dan nikmati hidup. Daripada lo jadi sadboy terus? Gue sengaja ajakin lo, supaya pikiran lo terbuka. Lebih jernih. Dan lo gak terus-terusan mikirin Ica."
Gara berdecih sinis. Ia menggulirkan bola mata pada meja-meja penuh minuman keras. Suasana gemerlap. Tawa-tawa lepas. Gerakan-gerakan random teman seangkatannya sewaktu SMA. Sedang melantai mengikuti alur musik.
Gara membenci suasana memekakkan seperti ini. Itu sebabnya ia berprinsip menjauhi klub seumur hidup. Tidak ada hal positif yang bisa ia dapatkan, kecuali kepalanya yang makin pusing.
Ia heran pada segelintir orang yang menganggap solusi terbaik masalah mereka ada pada segelas minuman keras. Pada musik-musik yang diyakini meringankan beban.
Padahal sejatinya, tempat ini tidak lebih sebagai pelarian. Tempat mengesampingkan masalah, demi penghiburan belaka. Mungkin benar, tenggelam pada kenikmatan, beban seolah terlupa. Namun mereka lupa, masalah akan terus ada dan tidak akan semudah itu selesai hanya dengan kenikmatan sesaat.
"Seingatku, aku gak pernah cerita apa-apa sama kamu."
"Memang. Tapi lihat lo di pernikahan abang lo dengan Ica, gue mulai yakin lo menyukai Ica. Dan lo benar-benar patah hati waktu itu."
Tidak ada respons, Gara memilih menusuk dinding dalam mulutnya dengan ujung lidah.
"Gar, mungkin gue gak bisa kasih lo solusi, tapi gue bisa jadi pendengar yang baik."
Sejurus, matanya melarikan diri pada wajah-wajah tanpa beban di sekeliling, tapi tidak pada pikiran. Pikirannya berkelana ke tempat apartemen abangnya tempo lalu. Di mana ia memeluk Ica. Di sanalah awal ia berani berhenti mencintai Ica.
"Nanti kalau dia pulang, aku janji akan menghajarnya, kok. Tenang saja. Kali ini kamu juga boleh menghajarnya."
"Jangan pukul El, Gara. Ica tidak suka El terluka."
Gara menghela napas, makin mempererat rengkuhannya. "Ca, aku di sini dan kamu menanyakan bang El. Kamu bilang merindukan bang El di depanku. Kamu tidak sadar apa artinya itu?"
Ica melepas pelukan. Menatap gamang Gara. Lalu yang ia beri gelengan kepala.
Untuk ke sekian kali Gara menghela napas. "Ca." Gara memegangi pundak Ica, menunduk untuk melihat langsung matanya yang mengembun. "Aku akan mengatakannya sekali lagi, Gara cinta Ica. Apa Ica juga cinta Gara?"
Ica tidak langsung menjawab. Ia memiliki banyak kebingungan di pikirannya, tapi lebih gamang hatinya.
"Mama Lilian bilang, Ica harus pilih antara Gara dan El. Ica harus memilih pangeran yang mencintai Ica dan Ica mencintainya. Pangeran yang Ica inginkan untuk selamanya."
"Lalu di antara aku dan Bang El, pangeran mana yang Ica inginkan untuk menghabiskan hidup bersama selamanya? Aku atau Bang El?"
"Kamu masih belum mengerti juga?" Gara mendapati Ica yang masih belum paham. "Aku akan memberikan kalimat yang lebih mudah."
"Jika Ica memilih aku, kita bisa bersama-sama. Hanya ada aku dan Ica. Setiap hari tanpa ada Bang El. Bercanda. Tertawa bahagia selamanya. Tapi jika Ica memilih Bang El, Ica akan hidup dengan Bang El seterusnya. Menghabiskan seluruh waktu dengan Bang El. Kita akan jarang bertemu. Bahkan mungkin tidak ada waktu tertawa bersama seperti dulu. Karena setelah kamu milik Bang El seutuhnya, aku akan berhenti mencintaimu."