Apa yang dilihat Kiara, menipiskan sabar. Apa yang didengar Kiara, lebih banyak bensin yang disiram kepadanya dan ia terbakar emosi.Sebelum sadar, bahwa marah kepada Lilian hanya akan membuat dirinya dipandang makin buruk. Akan lebih baik ia memutar heelsnya dan pergi dari sana.
El yang pertama sadar kepergian Kiara, berlari menyusul. Di luar, ia berhasil meraih lengan telanjang itu, memutar tubuh Kiara yang sudah banjir air mata.
"Kenapa kamu tidak jujur padaku, El kalau kamu sudah dijodohkan dengan wanita lain?!"
"Beri kesempatan untukku menjelaskan semuanya, Ki." Tatapan El yang memelas dan suaranya yang gusar melunakkan pertahanan Kiara. Tanpa sempat mengelak, El membawanya ke mobil El. Menguncinya dari dalam, jaga-jaga siapa tahu Kiara kabur sebelum ia mengakui segalanya.
"Memang benar orang tuaku menjodohkanku dengan wanita lain, tapi percayalah aku tidak pernah menginginkannya. Hanya kamu satu-satunya, Ki wanita yang aku cintai."
Setiap kata yang keluar dari mulut El, tak satu pun menarik mata Kiara untuk menatapnya. Kabut emosi belum sepenuhnya lenyap. Hati wanita mana yang tak sakit ketika tahu ada wanita lain yang menggeser posisinya di hati pria yang ia perjuangkan lama ini.
"Dengar, Ki." El menyentuh lengan Kiara, memutarnya pelan takut gadisnya yang rapuh hancur berkeping-keping.
"Aku mencintaimu dan akan terus begitu selamanya. Aku sedang tidak membual untuk menenangkan hatimu. Memang beginilah adanya."
Wajah El menggurat frustrasi. "Aku pusing. Tidak tahu bagaimana cara aku bisa lepas dari perjodohan bodoh orang tuaku. Mereka sangat keras kepala."
"Kamu tinggal menolaknya dan memilihku. Kalau perlu kita kawin lari saja. Tidak usah meminta restu segala jika mereka tetap kekeh tidak mau menerimaku. Kalau kamu sungguh mencintaiku, aku yakin kamu tidak akan peduli mereka dan sudah sejak lama kita menikah, El." Ancaman tak tersirat itu makin memeningkan kepala El saja.
"Aku mohon mengertilah, Ki. Aku tidak bisa tidak dengan restu mereka. Aku memang bisa saja melakukannya, tapi aku takut karma, Ki. Semenjengkelkannya apa pun mereka, mereka tetap orang tuaku yang harus aku hormati. Itu prinsipku. Tolong mengertilah?!"
"Mau sampai kapan aku harus mengerti?! Satu tahun dua tahun atau sampai aku jadi perawan tua?! Aku sudah sabar El menunggu sampai detik ini. Aku tidak yakin apa aku bisa bersabar lagi."
"Ki," lirih El. "Aku akan berusaha menggagalkan perjodohan itu. Aku janji. Beri aku waktu."
"Oke, aku akan mengerti, tapi jangan paksa aku untuk mengerti lagi jika kesabaranku melebihi batas toleransiku. Please, buka pintunya aku ingin pulang."
Rahang El mengeras. "Tidak! Aku akan mengantarmu. Aku harus memastikanmu pulang dengan selamat ke apartemenmu, aku tidak ingin emosimu mendatangkan bahaya yang tidak aku inginkan di jalan."
Kuncup bibir terpoles warna nude itu hendak protes, tapi terkendala bibir El yang menyambarnya cepat sebelum Kiara berpikir.
Alur yang mereka ciptakan mengalir lamban dan berubah panas seiring hasrat mengambil alih.
Di sela penyatuan bibir mereka, El tersenyum. Kiara tidak pernah tahan dan selalu jatuh lemas di bawah pesona kaki El saat pria itu sudah bersikap jantan begitu. Pertengkaran mereka tidak pernah berakhir ekstrem—putus—karena El selalu mengandalkan tindakan preventifnya itu segera jika diperlukan di waktu-waktu krusial seperti ini.
Kiara yang pertama melepas diri. Pasalnya napasnya sudah senin kamis. "Bagaimana aku tidak bisa memaafkanmu? Inilah alasanku mengapa aku tidak bisa berhenti mencintaimu, El."
"Maka jangan pernah berpikir untuk berpisah denganku."
El tidak ingin mengakhirinya, tidak ketika ia sudah mabuk kepayang. Tak peduli etis tidaknya tindakan mereka di tempat umum.
***
El pulang selepas makan malam. Pakaiannya lengket, ia perlu membersihkan diri. Ketika ia melewati kedua orang tuanya yang sedang berpelukan mesra menonton teve di ruang tengah, Barga memanggilnya. Terpaksa El berhenti.
Perasaannya sedang senang sekarang, setelah ia menggelontorkan jutaan rupiah untuk membelikan Kiara barang-barang branded. Jumlah itu bukan apa-apa baginya. Ia bahkan rela melakukan apa pun demi sebuah senyum perdamaian melukis di bibir kekasihnya. Ia menjamin perkataan sengak orang tuanya sekarang tidak akan mengubah perasaannya secuil pun.
"Berhentinya jangan di situ. Minggir." Barga melambai kasar.
"Ngapain manggil aku kalau begitu." El menjawab tidak kalah sengak.
"Kau nutupin layar tevenya itu. Aish! Lagi seru itu adegannya. Kau merusak saja!"
Sabar El! Orang tua kalau dilelepin ke kolam renang dosamu segede gunung. Daripada tensinya naik, lebih baik menyingkir.
"Eh, mau ke mana kau?!"
El berbalik. "Katanya disuruh minggir."
"Papa ingin bicara denganmu tentang kejadian di butik."
"Dengar, Pa sebanyak apa pun Papa melarang El, tekad El tidak akan tergoyahkan. El masih menghormati kalian sebagai orang tua, tapi El tidak bisa bertahan lama jika kalian keras kepala. El akan nekat menikahi Kiara dengan atau tanpa restu kalian."
"El?!" Barga berdiri. Emosinya di ujung tanduk. "Apa yang kami lakukan demi kebaikanmu?! Bisa-bisanya kau tidak mendengarkan nasihat kami bahwa Kiara buruk untukmu!"
El menyeringai. "Aku akan menginap di apartemen malam ini."
El menyingkir. Menghindari perdebatan adalah jalan terbaik daripada ia semakin durhaka membentak papanya tanpa sadar, sungguh El bukan pria yang tega meninggikan suara pada orang tuanya, meski selama ini ia amat enteng membentak di kantor jika bawahannya melakukan kesalahan sekecil apa pun.
Gara yang mendengar ribut-ribut di lantai dasar, mengikuti langkah El memasuki kamarnya. Saking marahnya ia bahkan membanting pintu dan membiarkannya melongo lebar.
Gara menyandarkan tubuhnya pada bibir kusen, melipat lengan, mengamati abangnya mengeluarkan beberapa map dan pakaian dari meja dan lemari, menyatukannya pada tas kecil.
"Bang, bisakah kita bicara sebentar sebelum Abang pergi?"
"Matamu somplak, tidak lihat aku sedang mengepak?!"
Gara berdecak, kalau sudah diselubungi emosi apa saja kalimat dapat meluncur dari bibir El tanpa berpikir.
"Kalau begitu dengar saja. Apa susahnya, toh tidak akan mengganggu kegiatanmu," sindir Gara tak kalah kesal.
"Jadi, apa cepat katakan." El bercekak pinggang. Meninggalkan kesibukannya sebentar.
"Aku akan bantu Abang menggagalkan perjodohan ini."
Dua alis sehitam arang itu naik dan ia mengernyih menyepelekan. "Bagaimana caranya?"
"Jika kita bisa bekerja sama, tentu kita bisa."
"Untuk apa kamu melakukan ini semua, adikku sayang?" Sekarang pria itu melipat lengannya di dada. Sangat tertarik mendengar ide adiknya. Mengepak pakaian sudah tak jadi minat lagi.
"Karena aku adikmu, jelas aku tidak ingin melihat Abang tersiksa."
"Hanya itu? Aku tidak yakin kau bisa sebaik ini kepadaku?"
Gara mendesis kesal. "Abang kira aku yang baik ini hanya sekali ini saja, bahkan aku yakin Abang masih ingat kalau akulah yang selama ini membantu Abang menghadapi papa dan mama saat Abang kencan dengan Kak Kiara."
El terkekeh. Ia mendekati adiknya untuk memberi tepukan hangat di pundaknya.
"Terima kasih banyak, dulu kau bisa diandalkan untuk menjadi tamengku ketika harusnya aku ke luar kota demi kuliah justru berlibur dengan Kiara berminggu-minggu."
"Jadi, apa rencanamu?"
Gara tersenyum. Ia menegakkan tubuh. Menatap abangnya lekat. Dia semata-mata melakukannya bukan untuk kebahagiaan El. Justru demi Ica, ia belum ingin menyerah. Ia ingin mempertaruhkan nasib sekali lagi. Siapa tahu dengan ia berusaha, Tuhan mau berubah pikiran.