Dua bulan kemudian, Bandara internasional SH.
"Gara, di Australia ada kanguru, ya?" tanya Ica.
Gara mengangguk tanpa melepaskan pandangannya pada jam rolex di pergelangan tangan. Gelisah sejak tadi.
"El, Ica mau ikut Gara lihat kanguru!" Ica melendot di lengan El. Merengek manja.
"Tidak sekarang, Ica. Kapan-kapan saja kalau aku ada waktu senggang. Kantor sedang sibuk-sibuknya."
Bibir Ica membebek.
Melihatnya membuat El menaruh sesal. "Janji, begitu ada waktu, kau mau pergi ke mana akan kuturuti."
"Janji, ya!" Kelingking Ica terjulur dan disambut spontan oleh kelingking El.
"Sana mana, kok belum datang?" Lilian bertanya.
Gara mengersah, ia menggeleng pelan.
"Tidak dibalas juga?" Pertanyaan kedua Lilian lagi-lagi disambut gelengan.
Puluhan pesan dan tak terhitung berapa kali ia melakukan panggilan telepon, tak satu pun berbuah balasan. Ia sudah nyaris menyerah untuk bolak-balik melihat ponsel, setelah ratusan kali berlalu, ia menahan diri untuk tidak berharap lebih pada ponselnya lagi. Lantas ia jejalkan ke ransel.
Sambil berpikir, kesalahan apa yang sudah ia perbuat hingga Sana mendiamkannya dua hari ini. Ia tidak merasa telah membuat gadis itu kecewa. Tahu-tahu saja hubungan mereka mendingin tanpa sebab.
Jika Sana tidak datang untuk mengantarnya pergi, Gara akan kecewa berat. Padahal Gara ingin melihat pacarnya itu sebelum ia naik pesawat. Keterlaluan kalau sampai orang yang Gara harapkan kedatangannya tidak kunjung menampakkan batang hidung.
Awas saja kalau gadis itu mengabari, giliran Gara untuk mendiamkannya.
Untuk mengalihkan kecewanya, Gara bertanya pada Ica. "Ica sedih, gak aku tinggal pergi jauh?"
Ica mengangguk sedih. "Nanti Ica gak punya teman bermain kalau Gara pergi."
"Masih ada aku, tidak perlu sedih." Ica mendongak untuk menyinkronkan tatapan segaris dengan El yang menunduk dan mengusap kepalanya.
"El tidak asyik orangnya. Selalu sibuk, gimana bisa menemani Ica. Kalah sama Tutu." Kali ini pipinya yang menggembung kesal.
Kenapa seakan ada beton menimpa kepala El? Ia tertohok, di-sekakmat sindiran Ica tanpa bisa berkata-kata, selain mendesah pasrah. Malang nian nasib suami macam El yang dibanding-bandingkan dengan seekor kucing yang hidupnya hanya bisa mengeong dan mencakar karpet di apartemen oleh istrinya sendiri.
Keluarganya tertawa. Lebih kencang tentu saja Gara, adik laknat yang suka sekali menjatuhkan harga diri El dan melihat abangnya menderita.
"Perhatian, para penumpang pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan xxxx tujuan Sidney, Australia dipersilahkan naik ke pesawat udara melalui pintu xxx."
Tawa Gara pergi lantas memandang satu-satu keluarganya. "Aku harus pergi."
"Kabari kalau sudah sampai. Di sana jangan lupa ibadah. Makan. Kurangi begadang ...."
"Tahu, Ma. Mama sudah bilang puluhan kali, berapa kali lagi biar Mama puas? Dan membuatku ketinggalan pesawat."
Lilian memukul lengan atas Gara sebagai bentuk kekesalan. Anak bungsunya pura-pura kesakitan. "Kenapa kamu sangat pintar membalas ucapan mama."
"Ma, Al sudah dewasa. Hidup mandiri bukan masalah bagiku. Aku janji akan baik-baik saja." Gara memeluk ibunya menyimpannya sampai libur semester tahun depan.