"Kau ingin bayi, bukan?"Ica tidak mengerti mengapa pria itu marah dan menggendongnya ke ranjang milik pria itu. Membaringkannya kasar—lebih tepatnya membantingnya ke ranjang empuk itu.
"Kau ingin bayi, bukan? Hari ini akan kukabulkan." El yang berada di atas Ica membisik seduksi di telinganya.
Ica sama sekali belum paham mengapa ia ketakutan setengah mati akan mata yang membara itu. Air matanya tumpah dan tak tahu mengapa ia terisak ketika kemeja soft pink-nya dan roknya dirobek El. Seluruhnya, sampai ia polos.
Dia memang sangat menginginkan bayi. Menyenangkan rasanya bisa memakaikan baju-baju lucu pada bayi perempuan. Laki-laki pun tak masalah. Namun, membuat bayi apakah memang harus dengan cara menyentuh seperti yang dilakukan El pada tubuh atas dan bawahnya secara bersamaan? Ica tidak suka. Benar-benar tidak suka dengan tangan El.
Tangan El terlalu dingin dan kasar. Ica mengerang sakit, tetapi tak mampu melontarkan protes. Karena El telah membungkamnya kasar.
Kakinya memiliki kendali atas otaknya yang mengirimkan sinyal pertahanan diri jika ada bahaya. Memberontak, menendang-nendang yang sama sekali tidak berpengaruh bagi El. Pria itu lebih besar dari Ica. Mudah bagi pria itu untuk mengatasi serangan Ica yang tak lebih pukulan lunak.
Tidak nyana, El menyecap karat dan perih. Bibirnya berdarah. Ica yang menggigitnya. El melepas pagutan. Memandang marah Ica dan berniat memberi hukuman jauh lebih menyiksa karena Ica telah menolaknya, tapi sepersekian sekon baru ia sadari tindakannya telah menyelewengi janjinya sendiri setelah melihat betapa menderitanya gadis di bawah El, yang kini menutupi wajahnya dengan tangan.
Apalagi kata-kata Ica setelahnya. El membeku.
"Ica ... Ica tidak suka!" isaknya.
"Ica tidak suka El."
"Gara selalu baik pada Ica. Gara tidak pernah kasar pada Ica. Ica menyukai Gara. Tidak seperti El yang jahat. Ica benci El. Sangat benci."
El yakin tidak ada yang memukul dadanya, tapi mengapa bagian itu terasa sakit. Ia beranjak dari atas Ica, terduduk di samping Ica yang masih berkubang dalam ratapan.
Memandang Ica dalam diam dengan pikirannya yang amburadul. Nyaris saja. Jika Ica tidak menangis dan tidak mengatakan kata-kata itu, mungkin El masih dibutakan iblis di dalam dirinya dan merenggut kesucian Ica dengan cara paling hina, yaitu memanfaatkan ketidak berdayaan gadis itu dan hanya mengedepankan nafsu tanpa cinta semata.
El menjambak rambutnya sendiri. Menyesali perbuatannya. "Maaf," lirihnya.
Lantas ia bangkit menuju lemari di dalam walkin closet untuk membawakan Ica kemeja miliknya.
Ia memungut baju dan pakaian dalam Ica yang teronggok menyedihkan di lantai, tak mungkin bisa dipakai lagi. El meringis betapa brutalnya ia merobek semua pakaian Ica. Kemudian membuangnya ke tong sampah terdekat.
"Hei, buddy tenanglah di dalam sana. Bukan kau saja yang tersiksa, aku pun juga," keluhnya pada sahabat di dalam celananya.
Ia kembali pada Ica. Dengan lembut dan hati-hati, memakaikan kemeja yang ia bawa. Namun, sisa-sisa ketakutan Ica belum mau minggat. Panik, menggeser tubuhnya menjauhi El.
"Maaf, aku berjanji tidak akan melakukannya lagi." El tidak yakin ucapannya akan membuat keadaan lebih baik karena ia belum pernah bercinta sebelumnya, apalagi memaksakan bercinta yang membuat bukan hanya seorang gadis ketakutan, tetapi juga membuat El menjelma menjadi makhluk bejat.
"Kemarilah, aku tidak akan menyakitimu." Bujukan El tidak meluluhkan Ica. Gadis itu malah makin meringkuk di ujung kepala ranjang. Gemetaran hebat.
El frustrasi. Rambutnya makin berantakan, disugarnya kasar. Dengan cara apalagi ia membujuk Ica. Oh, yang benar saja El! Wajar kau kesulitan melakukannya setelah apa yang kaulakukan pada Ica yang mungkin saja akan meninggalkan trauma pada gadis ini.
Ia menarik lengan Ica, memaksanya memukulkannya ke dadanya. "Kau bilang aku jahat, maka balas aku. Pukul aku sampai puas."
Dan Ica memukulnya brutal sambil menangis. "El jahat! Jahat! Ica benci El!"
Entah berapa lama Ica memukul El, yang jelas sudah tak terhitung. Pukulan Ica memang tak seberapa dibandingkan perilaku El padanya, tetapi sakit, walau kendati demikian, El pantas mendapatkannya.
Pukulan Ica pada akhirnya melemah dan ia ambruk di dada El. Kelelahan. El tersenyum. Ia mengubah posisi tidur, dan membawa ica duduk bersamanya. Memanfaatkan kelelahan Ica untuk memakaikannya kemeja El.
"Kau bilang kau lapar, bukan?" tangannya setelah mengancingkan lubang terakhir.
Ica di antara gelombang kantuk masih sempatnya mengangguk.
"Bagus."
Pria itu entah dorongan dari mana, mencium kening Ica. Merapikan rambut Ica yang berantakan. Serta wajahnya yang diusap dari bekas tangis. Membantunya berbaring dan menyelimuti tubuh Ica yang tidak polos lagi.
"Hari ini kau menginap di sini." Tentu saja, El tidak mungkin memulangkan Ica ke rumah orang tuanya dalam keadaan berantakan seperti ini.
Ica yang bahkan tak sanggup mengangguk, tak mampu mendengar apa-apa lagi. Jatuh ke jurang mimpinya.
El menghela napas saat ia memperhatikan begitu damainya Ica tertidur. Herannya, dorongan keanehan tak sampai sebatas ciuman kening saja, tangannya bahkan mengelus kepala Ica. El mengernyit tak mungkin ia menyayangi gadis bodoh ini, bukan?
Pelan-pelan ia turun dari ranjang. Takut membangunkan Ica. Lantas mengambil ponsel untuk menghubungi delivery makanan. Setelah memesan satu paket besar ayam goreng serta minuman, ia meninggalkan ponselnya di nakas lantas melarikan diri dengan sebatang rokok yang disulutnya. Merokok di balkon.
Setiap isapan dan kepulan yang ia sembur, membawa banyak pertanyaan berkelebat.
Mengapa ia ingin bercinta dengan Ica?
Padahal ia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak akan pernah menerima gadis itu.
Ataukah mungkin hanya sebatas obsesi? Gadis itu di balik intelegensi di bawah rata-rata, memiliki tubuh wanita dewasa. Pria mana yang tidak akan tertarik? Karena sebagian besar otak pria dikendalikan sesuatu di balik celana mereka.
Atau karena gadis itu yang membuatnya marah sehingga El ingin membalasnya? Dengan cara bercinta? Ayolah, El! Kau sudah gila jika melakukannya cuma sebatas itu.
Lalu apa? Nafsu?
Ya, dia akui syahwatnya tak terkendali bersama Ica, tapi mengapa bisa begitu?
Ia yakin tidak mencintai Ica karena ia masih mencintai Kiara.
Jelas, yang bermasalah adalah nafsunya saja. Sial! El mengacak rambutnya kembali frustrasi. Mengutuk pikirannya yang selalu tertuju di antara pahanya yang kini kembali mengeras.
Gara.
Nama adiknya disebut oleh bibir gadis bodoh itu.
Kemudian membersit kenangan bagaimana tatapan yang diberikan adiknya pada Ica tadi sebelum ia pergi membantu temannya. Mengapa El merasa sangat terganggu?
Lalu bagian Ica yang membandingkan dirinya dengan Alsagara. Gara baiklah. Gara yang tidak pernah kasarlah. Tidak seperti dirinya yang gampang tersulut emosi. Selalu seenaknya dan gampang tersinggung.
Sialan! El membanting rokoknya. Ia benar-benar muak dibanding-bandingkan. Untuk pertama kalinya bagi El, ia iri dengan adiknya yang mampu dekat dengan Ica tanpa menggunakan cara pemaksaan.
Sangat iri.
_____
Hoyoloh El, pada akhirnya jilat ludah, kan lo!