(3. Gila)

1K 98 2
                                    


"Tinggal menentukan tanggal pernikahan saja, bukan? Lebih cepat lebih baik."

"Tunggu, Pa. Papa belum meminta persetujuan dariku. Aku tidak setuju!"

"Ica setuju!" Bocah itu angkat tangan tinggi-tinggi.

El mendelik. "Aku tidak akan pernah mau menikah denganmu!"

"Kenapa? El tidak mau bayi? Ck ... kejam!" gelengnya dramatis.

Apa hubungannya tidak mau bayi dengan kejam? Lagipula bukan berarti ia tidak mau bayi. Ia mau, asalkan partner dalam proses pembuatannya bukan dengan otak udang itu.

"Aku tidak akan pernah mau menikahi gadis yang bahkan tidak tahu apa arti menikah ituk ...!" El tersekat pada kata terakhir sebab kakinya diinjak Lilian sebelum ia menyelesaikan kata terakhir.

"Maaf, An dan Pak Han. El kadang kurang fokus. Tahu sendiri, kan kerjaannya di kantor luar biasa padat sekali sampai lembur setiap hari dan jarang pulang ke rumah."

"Tidak apa-apa, Lilian. Kami mengerti." Han memaklumi.

Rahang El mengeras. Berusaha mengabaikan denyutan di kakinya. Kalau begini ujungnya, sudah ketok palu. Sudah tidak bisa diganggu gugat. Sudah tak punya harapan untuk El menafikan perjodohan tak jelas ini.

"El, butuh obat!" Ica tiba-tiba menyela.

"Untuk apa?"

"Untuk sehat."

"Aku sehat." El menggeram.

"Tapi muka El merah. Muka Ica selalu merah kalau demam."

"Aku tidak sakit, tapi marah!" El beranjak keluar. Sudah tidak tahan menetap di ruangan yang menyiksa batinnya.

"Kami pamit dahulu, Han, An. Terima kasih untuk makan malamnya yang super lezat." Barga berbicara seraya melengkungkan lebar-lebar bibirnya.

"Ah, terima kasih banyak. Jangan sungkan untuk sering datang berkunjung. Pintu kami selalu terbuka untuk kalian semua."

"Pasti, Han."

"El!" Ica menyusul El. Sementara pria itu memijit pangkal hidungnya dan membuang cuai muka ke arah lain. Sedang pura-pura budek.

"El, besok kita ketemu, ya El. Temani Ica cari baju bayi."

"Buat saja belum!"

"Oh, iya ya buat aja belum. Kapan?" Ica mengedip, matanya bercahaya, harapannya melambung tinggi.

Kenapa El harus menanggapinya, sih?! Tinggal diam dan tidak usah mengurusinya, apa susahnya! El percaya dalam kurun satu bulan, rambutnya memutih semua jika berdekatan dengan bocah kekurangan asupan vitamin otak ini.

El menghela napas. Memandang Ica sengit sebelum ia memutuskan untuk lebih dulu beranjak ke mobil. Ia tak peduli dicap tak punya tata krama oleh si tuan rumah.

Ia memandang bagaimana kedua orang tuanya bercengkerama sebelum pamit dari balik kemudi. Ia juga melihat Lilian memeluk hangat Ica, sesuatu yang tak pernah ia tampilkan pada Kiara ketika gadisnya berkunjung ke rumah.

El menghela napas untuk kesekian kali. Ia akan melakukannya jika beban masalah terlalu kurang ajar mengusikknya. Dan jelas masalah Ica tidak bisa ia anggap remeh.

Kedua orang tuanya akhirnya masuk mobil dan El tak butuh jeda untuk tancap gas.

"Jelaskan padaku apa motif kalian menjodohkanku dengan gadis bodoh itu!" El menjatuhkan ultimatum.

Barga melirik anaknya, lalu melirik ke belakang di mana istrinya duduk. Untuk beberapa saat Barga dan Lilian cuma lirik-lirikan saja. El menggeram, tak sabar. "Pa, Ma. Aku minta penjelasan bukan diam saja!"

Anaknya memang harus tahu dan inilah saatnya. Barga mengembangkan paru-parunya. Berdeham dan memulai kalimat pertama. "Pada suatu hari yang cerah ...."

"Langsung ke intinya, bisa?!" geram El. Kesabarannya sudah lari tunggang langgang.

Barga tak segan memukul tengkuk anaknya. "Dengarkan dulu! Katanya mau tahu! Gimana, sih?!"

El berdecak. Memutuskan untuk sabar mendengar.

"Pada suatu hari yang cerah, kedua orang orang tua Ica, Herman dan Jihan, sahabat papa dan Mama berkunjung ke rumah kita. Pada saat itu Ica masih dalam kandungan. Setelah berkunjung, mereka pulang menggunakan mobil."

El melirik Barga yang tak melanjutkan kisahnya, dan malah menyusutkan hidung. Begitu juga dengan mamanya. El mengernyit, sesedih apa, sih kisahnya sampai papanya menangis.

"Di jalan tol, mobil yang ditumpangi mereka mengalami kecelakaan. Dihantam truk besar yang sopirnya mengantuk. Herman meninggal di tempat, sementara Jihan masih hidup, tetapi luka yang ia dapat cukup parah. Ia segera dilarikan ke rumah sakit. Usia kandungan Jihan masih tujuh bulan, belum waktunya untuk keluar, tapi dia harus dipaksa keluar jika ingin hidup. Akhirnya Jihan harus menjalani operasi caesar. Sayang, nyawa Jihan tak terselamatkan. Sementara Ica harus di-inkubator. Karena itulah mengapa gadis manis itu sedikit lemot dan cenderung tidak pintar. Sejak saat itu Ica diasuh adik dari orang tuanya sampai ia tumbuh sebaik ini. Tamat."

Cerita yang menyedihkan. El benar-benar bersimpati.

"Lalu mengapa kalian menjodohkanku dengannya? Rasa bersalah? Merasa kasihan? Hutang budi? Atau karena orang tua Ica dan kalian adalah sahabat karib? Sungguh alasan kalian tidak aku terima."

"Kau benar, Nak! Dan untuk itulah kami menjodohkanmu dengan Ica. Setuju atau tidak, kau harus menuruti keinginan kami."

"Aku bersimpati, tapi bukan berarti kalian memaksakan kehendakku. Aku sudah dewasa, aku punya hak untuk menentukan arah masa depanku sendiri. Lagipula mengapa kalian tidak memberikannya hidup mewah, menjamin kehidupannya sampai dia meninggal kalau perlu."

Barga memandang El kesal. "Sudah, dan keinginan kami hanya satu. Ica menjadi istrimu."

"Kalian mau memiliki cucu bodoh seperti dia?"

"Kau, kan jenius El. Mana mungkin cucu kami jadi bodoh. Lagipula dia manis, imut dan lucu. Anak kalian pasti akan terlahir rupawan seperti Ica dan jenius sepertimu. Mama menyukainya sungguh! Dan sudah tidak sabar melihat kalian menikah dan memberi kami cucu." Lilian menyeringai senang. Sepertinya penularan virus kobodohan Ica sudah menjangkiti otak orang tua El.

Mereka bahkan melupakan kemungkinan bahwa bisa saja genetika yang dihasilkan dominan rupawan dan goblok.

Astaga! El pusing. Bisa-bisa umurnya memendek secepat aliran darahnya yang sedang meneriaki marah, marah, marah.

"Tidakkah kalian tahu bahwa Kiara lebih segalanya. Apa kalian tidak ingin memiliki mantu yang sempurna?"

Lilian berdecak. "Mama tidak butuh wanita yang lebih mementingkan karir daripada menjadi ibu rumah tangga."

"Kiara bisa belajar."

"Tidak, Mama lebih suka Ica titik. Kalau kamu tidak setuju, maka kamu tidak akan Mama anggap anak lagi. Gak apa-apa Mama punya Al saja. Biar Mama manjain dia saja."

"Dan sampai kapan pun, Mama dan papa tidak akan pernah memberi restu pada kau dan Kiara!" Bapaknya ikut berkomplot memerangi Kiara.

Lagi-lagi El mengumpat. Menyetir sambil menekan pelipisnya. 

"Cobalah dekat dengan Ica sebulan saja, dulu. Kamu akan menyukainya sama seperti kami," nasihat Barga.

Dan selama itu pula, El bakalan terserang penyakit jantung kronis mendadak. Menyukai gadis itu adalah sebuah kemustahilan, sama mustahilnya dengan sebuah bintang jatuh ke atap mobilnya.

Pengendalian setir El mendadak tidak stabil, disebabkan sesuatu menghantam atap mobil El amat keras. Terpaksa El membanting setir ke pinggir. Mereka panik keluar dan El melongo. Atap mobilnya berasap dan ada batu besar  terselubungi api di sana, memberi efek hangus pula dan ceruk tak main-main. Lantas ia mengedip. Tidak mungkinkan jika batinnya berkata sedetik lalu terkabul secepat ini.

Itu artinya ... menyukai Ica bukan kemustahilan. Bintang saja—sepertinya lebih tepat dibilang meteor—bisa jatuh di atap mobilnya?! Apalagi menyukai Ica!

El menjambak rambutnya. Sepertinya kewarasannya sudah tercerabut dari raganya.

***

Istri OonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang