El kesal luar biasa ketika Kafka mengabarkan bahwa Gara membawa Ica pulang. Ia baru meninggalkan kantor malamnya. Mengabaikan lelah, langsung menuju ke rumah orang tuanya.Terlebih saat Kafka melaporkan bahwa ia melihat sendiri mereka berciuman. El ingin sekali menghancurkan bibir Al!
Melihat El datang, Lilian dan Barga justru menghindar ke kamar. Sepertinya akan ada situasi panas yang sebentar lagi terjadi. Bukan karena mereka takut, sebaliknya, merasa bukan urusan mereka dan memberikan ruang bagi anak-anak mereka untuk menyelesaikan masalah.
"Apa yang sudah kau lakukan?" tanya El tanpa basa-basi.
Gara yang duduk berhadapan dengan laptop dan Ica yang menemani, bangkit. Tiada ada gurat takut, Gara siap menghadapi abangnya secara jantan.
"Menyelamatkan Ica sebisa mungkin."
"Apa hakmu?" El melemparkan satu pertanyaan pamungkas yang mampu membuat Gara tak berkutik. El menyeringai puas.
Apa haknya? Hanya berstatus sahabat tidak lantas memberinya wewenang mengurusi rumah tangga Ica dan El.
Gara tersadar bahwa ia tidak mampu menandingi abangnya yang sepuluh tahun lebih tua darinya dalam segala hal. Terutama mendapatkan Ica.
"Ica adalah istriku. Aku memiliki hak atas dirinya. Kau memang adikku, Al. Tapi kau tidak punya hak untuk membawa kabur Ica tanpa sepengetahuanku!"
"Aku memang tidak punya hak. Tapi lain cerita ketika sejak awal Abang tidak menginginkan Ica dan sejak kapan Abang menganggap Ica urusan Abang? Kupikir Abang tidak akan peduli terhadap semua yang dilakukan Ica."
Kini El yang terdiam. Sekakmat. Satu sama.
Giliran Gara yang menyeringai. "Jadi, sebagai suami yang tidak menginginkan Ica sebagai istri dan membencinya, Abang tidak memiliki alasan untuk melarang Ica."
"Apa kita bertengkar karena wanita bodoh ini? Sungguh lucu." El tertawa sarkas. Ia tidak habis pikir, mengapa ia sangat marah sekarang mengetahui adiknya sangat melindungi Ica. El sangat tidak suka fakta itu.
"Tidak akan ada pertengkaran jika Abang tidak menyakiti Ica. Lebih baik lepaskan Ica sebelum aku merebutnya dari Abang."
Sungguh kurang ajar mulut adiknya. Dan apa yang dia bilang barusan? Merebut Ica?
El menyipit curiga. "Kau menyukai Ica?"
"Iya." Dengan tenang Gara menjawab.
El sudah menebak, tentang pandangan Gara yang berbeda dan perlakuannya yang kelewat lembut kepada Ica adalah perasaan lebih, melebihi kasih sayang terhadap teman. Dan segalanya gamblang sekarang.
Apa sekarang ia memiliki saingan? Parahnya, saingannya adalah adiknya sendiri. El sangat marah sekarang, tetapi ia masih memiliki akal sehat untuk tidak sembarang memukul adiknya.
"Kau terlambat mengatakannya ketika aku sudah meniduri Ica."
Ingatan pagi ini di apartemen El, mengenai Ica yang hanya memakai kemeja saja, menohok jantung Gara. Matanya nanar memerah. Tangannya mengepal. Ia yang berada di puncak kemarahan, membuatnya tak sadar telah memukul rahang El. Menyebabkan El tersungkur dan robek di sudut bibir.
Ica yang tak tahu apa-apa, sontak memeluk punggung Gara. Yang ia tahu bahwa pertengkaran yang berakhir memukul bukan perilaku yang baik, dan harus dilerai segera. Itu yang ia dapatkan di bangku sekolah.
"Gara jangan pukul El lagi. Tidak baik, tauk!"
Gara yang memang ingin menghajar abangnya lagi, seakan dibangunkan dari sadar dan ia tak lagi kalap karena Ica yang mencegah.
El bangkit. Ia tak menduga Gara, adiknya yang selalu tenang bisa semarah ini untuk pertama kalinya hingga memukulnya dan itu gara-gara satu gadis bodoh, tapi apa yang dilakukannya tidak membuat El merasa harus balas dendam. Walaupun ia sangat merasa sangat marah.
"Itu sebagai balasan atas perlakuan kasar Abang kepada Ica. Meski aku sangat menghormati Abang, tapi jika Ica tersakiti karena Abang, aku tidak akan tinggal diam!" tudingnya tak main-main.
Gara benar, ia pantas dipukul setelah memaksa Ica memuaskan hasratnya dengan bayaran tangis Ica.
"Aku tidak akan melepas Ica." Begitu yang El katakan dengan serius.
Gara makin tak mengerti, mengapa abangnya berubah pikiran. Dan hal itu ditangkap El lewat ekspresi Gara yang kebingungan, meski adiknya itu tak bertanya.
"Aku tidak akan melepas tanggung jawab setelah aku meniduri Ica. Aku tidak akan menjadi pria brengsek hanya karena aku membenci Ica. Aku akan menjadikan pernikahan ini yang sebenarnya."
El melihat Gara mematung. Apa yang El katakan adalah pisau yang berhasil menyakiti Gara sampai ke dalam-dalamnya. Mereka telah melakukannya. Mereka telah menjadi suami istri yang sesungguhnya.
"Tidak akan ada kata bahagia tanpa ada cinta." Gara mencoba menyangkal dan mengubah pikiran tak masuk akal El.
"Memang. Tapi kau lupa awal mama dan papa menikah bukan karena cinta, melainkan penerimaan. Lihat sekarang mereka langgeng sampai tua. Dan aku mencoba untuk meniru mereka."
"Karena merasa bertanggung jawab, Abang mengubah persepsi? Atau murni menerima tulus Ica. Kamu tahu, Bang, you really are a jerk. Memaksa Ica tidur, sama saja memerkosanya!"
"Cukup!" El naik pitam. Ia merenggut garis leher kaos adiknya. Menariknya kuat. "Kau sudah kelewat batas! Aku sudah menikah dengan Ica, hakku dan kewajibannya untuk tidur bersama. Dan bukan hakmu untuk mengomentari pernikahanku!"
"El, jangan berantem!" Ica menangis. Ia berusaha memisahkan kedua bersaudara itu, tetapi tubuhnya yang mungil mustahil mengalahkan dua laki-laki besar itu.
"Berhenti! Kalian bukan lagi anak kecil yang menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah!"
Barga dan Lilian akhirnya memutuskan untuk ikut campur saat suara keras kedua anaknya dikhawatirkan jauh lebih memanas dari perkiraan. Dan benar apa yang mereka lihat. Kedua anaknya yang saling memperlihatkan tatapan membunuh.
Peringatan Barga barulah mampu mencegah El berbuat jauh. Misal balas memukul. Ia dengan kasar melepas Gara, lantas menarik Ica ke arahnya.
"Kali ini aku tidak akan memukulmu setelah mencium Ica, tapi jika ada lain kali, aku tidak akan memberimu toleransi lagi."
Gara terkejut. El tahu. Rahang Gara pun mengeras. Antara masih geram dan malu luar biasa. Sementara kedua orang tuanya tak kalah kaget."Ingat posisimu sekarang, Al. Kau dan Ica adalah ipar. Tidak seharusnya seorang adik mencium kakak iparnya sendiri."
Kembali El berhasil membuat Gara tak lagi mampu mengelak. El menyeringai, atas kemenangan mendapatkan Ica sepenuhnya. Lantas tanpa pamit, membawa Ica yang keluar dari rumah Barga, untuk kembali ke apartemennya.
Setelah El dan Ica pergi, Lilian yang pertama kali membuka suara. "Apa benar kamu mencium Ica, Al?"
Gara tidak mengatakan apa pun dan tidak memiliki kemauan untuk menjawab sebab marahnya belum habis.
"Apa benar kamu mencintai Ica?" Lilian memang sudah mengetahui itu, tapi ia ingin tahu langsung dari mulut anaknya.
Sayanganya, pertanyaan kedua lagi-lagi tak terjawab. Gara lebih memilih menghindar menuju kamarnya. Buru-buru.
Melihat anak bungsunya kacau, Barga memijit keningnya dan Lilian trenyuh.
"Bagaimana ini, Ma?" Barga bahkan buntu. Tak memiliki satu pun solusi. Dia merasa bukan orang tua yang baik ketika ia tak mampu berpikir tentang jalan keluar.
"Mama akan berbicara pada Al, Pa, setelah suasana hatinya membaik."
______
Woila,, aku comeback. Maaf baru muncul setelah sekian lama berpikir tentang alur cerita ini ke depannya. Bagaimana tanggapan kalian tentang cerita ini? Apakah ngeselin? Terutama tokoh El yang plinplan. Gara yang pengecut. Ica yang terlalu bodoh. Konflik yang sebenarnya sangat ringan, tetapi gemesin banget, pengin tak hiii! Ada yang sepemikiran?