"Kalian harus honeymoon."Kata-kata yang diucapkan Lilian berhasil menyulutkan emosi El.
Menatap ibunya nyalang, El berkata, "El sudah menuruti Mama untuk menikahi Ica. Jangan paksa aku lagi untuk memiliki anak dari Ica karena aku tidak ingin melakukan hal yang tidak kuinginkan."
"Tapi kami ingin memiliki cucu darimu dan dari Ica. Cucu yang kami dambakan di masa tua."
Nafsu makan El menguap tak terkendali. Ia mengabaikan porsi makannya dan mengonsumsi seporsi marah. "El tekankan pada Mama, pernikahan yang Mama paksakan selamanya adalah kesalahan. Dan El tidak ingin melakukan kesalahan lagi dengan membuatkan kalian cucu. Selama ini El sudah cukup sabar mengerti kalian, jangan lagi membuatku hilang kendali dengan tidak menghormati kalian. Sekarang El minta giliran aku untuk dimengerti. Dan El mengharapkan pengertian kalian."
Barga angkat suara. Mendesah menyerah. "Baiklah, kami tidak akan memaksamu lagi, El. Kami memang terlalu menekanmu dengan pernikahan ini. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, kamu memiliki kewajiban nafkah lahiriah kepada Ica. Perkara nafkah batiniah, papa dan Mama hanya bisa berharap saja. Kamu mau menerima Ica. Itu saja sudah cukup untuk kami."
Pria berkemeja putih itu membuang seluruh beban lewat embusan panjang. "Terima kasih banyak atas pengertian kalian. Aku tidak akan melupakan kewajibanku terhadap Ica." Setelah mengatakannya, El mendorong kursi dan beranjak dari meja makan. Ketiga kepala itu, terhitung juga dengan Ica dan Gara memandang El dengan pikiran berbeda dan carut marut.
Gara menganggap bahwa abangnya terlalu marah dan ia selalu akan pergi untuk melampiaskan marahnya di luar sana, entah dengan cara apa. Karena Gara tahu, El tidak akan pernah bisa durhaka kepada Lilian dan Barga dengan membentak mereka dan membanting barang.
Satunya justru sedang menyambungkan informasi demi informasi menjadi kesatuan, meski harus membutuhkan waktu lama untuk menarik kesimpulan bahwa El marah luar biasa.
Membawa serta ayam goreng, ketiga kepala itu terperanjat melihat Ica lari menyusul El.
Barga dan Lilian mengulum senyum. Saling berkomunikasi lewat pandangan mata. Mungkin hanya Ica yang sanggup menjadi pawang El. Satu-satunya orang di meja itu yang sama sekali tidak terpengaruh marah El yang jika marah selalu menakutkan.
"El, tunggu! Kenapa tidak dihabiskan makannya? Ayam gorengnya enak, lho," kata Ica yang berlari mensejajarkan langkah El yang kini menaiki tangga menuju ke kamar, sembari menggigit besar paha ayamnya.
Seperti benda tak kasatmata, El menganggap Ica begitu.
"El, hari ini El belum mengulangi lagi yang semalam. Ica benar-benar lupa. Suer, deh, Ica lupa."
Tak mendapat sepeser pun perhatian, Ica berinisiatif menghadang langkah El dengan berdiri merentangkan tangan dan kaki di ambang pintu.
"El, jawab!"
Tentu tenaga El jauh lebih besar karena badannya juga lebih besar dua kali lipat dari tubuh ica. Sehingga secara mudah ia dapat menyingkirkan Ica dengan mendorongnya.
Pria itu hanya mengambil ponselnya dan dompet di nakas. Begitu mendapatkannya, ia melangkah keluar. Namun tangan Ica yang kotor berlumuran minyak memegang lengan kemeja itu, mencegah El pergi.
El mendelik melihat noda kuning mencetak kemeja seharga puluhan juta miliknya. Ica sama sekali tidak menyadari perbuatannya bagai menyiramkan sejeriken bensin ke tubuh pria itu dan api amarahnya meledak.
"Apa yang kau lakukan?! Kemeja mahalku kotor!" El mengibas tangan mungil itu dan Ica tersentak kaget.
"Lima kesalahan terbesar yang telah kau lakukan padaku." Pria itu mencengkeram kuat dagu Ica.