Kepala proyek berlari kecil ketika melihat dua bos besarnya datang berkunjung untuk melihat sejauh mana proyek berjalan. Dia membawakan helm kuning untuk El dan Jihan. Lantas menjabat tangan keduanya. Jihan mengenalkan Agus kepada El, sebagai orang kepercayaan Jihan yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan proyek di lapangan."Bagaimana Pak Agus? Ada kendala tidak?" tanya Jihan sambil memakai helm-nya.
"Sedikit ada keterlambatan pengiriman suplai material, Bu Jihan karena bencana alam di luar kota dan sedikit ada masalah teknis pada crane-crane juga, tapi sudah diperbaiki oleh teknisi kami."
"Saya mengharapkan kendala kecil tadi tidak menghambat waktu penyelesaian yang sudah ditargetkan sejak awal, Pak Agus." Agaknya melihat wajah serius El, Pak Agus mengasumsikan bos barunya tidak suka sama sekali dengan kabar tersebut. Walau sekecil apa pun masalah.
Pak Agus menjawab. "Ba—baik, Pak. Kami akan berusaha sebaik mungkin seperti keberhasilan proyek-proyek kami sebelumnya.
Lantas Pak Agus dan seorang lagi datang menjabat sebagai site engineer menjelaskan secara teknis konstruksi yang berlangsung sambil mereka berempat mengecek langsung kerangka bangunan yang sudah kokoh berdiri.
Sebuah tower crane berdiri tegak di bagian Barat mengangkut bahan material secara horizontal. Entah katrol di ujungnya yang bermasalah atau pekerja yang mengendalikannya yang lalai. Sebuah baja berukuran panjang bergoyang.
Jihan yang sedang serius mengamati konstruksi tersebut tidak sadar bahwa di atasnya sebuah material berat siap meluncur. El yang pertama sadar, bahwa bahaya tengah mengancam nyawa.
Waktu begitu singkat dan tepat waktu. Singkat karena kejadian itu terlalu cepat sebelum otak sadar dan tepat waktu karena Jihan berhasil terselamatkan.
Gadis itu rebah di tanah berpasir, badannya utuh dan baik-baik saja. Hanya syok yang tersisa. Namun teriakan dua penanggung jawab proyek tersebut, menyeret kesadaran Jihan. Bahwa darah yang merembes ke blus putihnya adalah milik pria yang memeluknya erat, terbaring di atasnya. Pria sama yang telah merelakan nyawa demi menyelamatkan Jihan. Pria yang Jihan cintai, tapi mengapa harus begini?
"EL!"
***
Gara yakin kata-katanya kemarin sudah dikategorikan sangat menyakitkan, tetapi mengapa gadis ini datang kembali. Tanpa seberkas mendung dan membawa seekor kucing berbulu putih?
Gara bertekad untuk mengabaikan gadis itu saja yang keliaran di rumah besar itu dan mengunci kamar.
Namun, pintunya digedor keras. Disusul teriakan Ica. Orang lain yang tak kenal, akan menyangka jika Ica sudah kehilangan kewarasan. Bagi Gara Ica bertindak bodoh. Sudah disakiti, mengapa masih mencoba rasa sakit itu lagi?
"Gara, kalau tidak buka pintu, Ica dobrak!"
Diam-diam Gara tertawa. Cara Ica mengancam, tidak segarang ucapannya. Justru kedengaran imut. Tidak menakutkan sama sekali.
Ia sengaja menyilangkan kaki dan bersedekap, menanti sejauh mana usaha Ica berjuang.
"Gara! Ica minta maaf kalau Ica udah jahat!"
Tawanya gugur, memekarkan sebentuk rasa bersalah. Gara merasa dirinya pengecut sekali dan merasa kerdil. Ica tidak berkewajiban meminta maaf pada kesalahan yang tidak ia perbuat. Justru Gara lah biang yang harusnya bertanggung jawab. Namun, sekali lagi. Ia terlalu pengecut untuk minta maaf.
"Gara, Ica punya permen. Kalau mau, maafin Ica dulu!"
Pria dewasa mana, sih yang bodoh menerima sogokan permen di dunia ini?
"Gara! Dengar tidak! Ica tidak akan masakin buat Gara. Ica gak akan peduli lagi. Ica gak akan menangisi Gara. Awas saja nanti kaki Gara, Ica injak!"
"Ya, gak apa-apa Ica lakukan itu semua biar usahaku menjauhimu semakin mudah," gumam Gara getir.
El!
Teriakan mamanya menggema di seantero ruangan. Tak luput ruangan yang Gara diami. Ia bergegas ke pintu dan keluar. Takut terjadi sesuatu yang buruk terhadap ibunya.
Resiko bertatap muka pun terjadi. Namun sekarang bukan saatnya untuk menghindari Ica. Kepanikan ibunya jauh lebih penting. Gara menarik Ica turun dari tangga. Di samping telepon rumah, Lilian terduduk lemas seraya menangis dalam dekapan Barga.
Apa yang terjadi?
"Al, kita harus ke rumah sakit segera. Abangmu mengalami kecelakaan kerja." Kabar yang dikatakan Barga mengundang syok akut.
***
Jihan pikir dunianya runtuh saat perusahannya nyaris bangkrut. Saat ia dibuli El dulu sewaktu SMA. Saat ia harus kembali dipertemukan lagi dengan orang yang paling ia benci.
Namun, daftar itu tak seberapa dengan melihat bercak merah di blusnya. Melihat El yang berjuang dari kematian. Melihat mata itu tertutup, tanpa tahu kapan membuka mata lagi. Dunia Jihan bukan lagi runtuh, tapi lebur tak menyisakan sedikit harapan.
Jihan benci El menyelamatkannya, kalau tahu dia yang akan menyebabkan El celaka. Jihan benci ia sendiri, yang cuma duduk berpayung penyesalan.
Kafka sendiri mengamati tangis Jihan di posisinya menyandar pada tembok. Segalak apa pun El, walau terkadang suka bikin kesal, ia tetaplah bos yang kerap berbagi kebaikan pada Kafka. Pantaslah ia ikut duka, tapi tak sedramatis Jihan.
Derap langkah dari empat pasang sandal berlarian pada lorong unit gawat darurat. Kafka menegakkan punggung. Dialah yang menghubungi keluarga El, dan mereka di sini, secepat yang mereka bisa.
Bertepatan dengan dokter yang keluar pintu ganda tersebut, keluarga El berhenti di depannya. Langsung menodong keadaan El pada si dokter muda.
"Beruntung, Pak, Bu. Pasien memakai helm yang melindungi kepalanya sehingga tidak mengalami pendarahan otak akut dan tidak perlu melalui proses operasi. Untuk sekarang biarkan pasien istirahat dahulu. Panggil kami jika pasien sudah sadar."
Dokter muda itu pun pergi setelah memberi sedikit kelegaan pada keluarga pasien untuk kembali bertugas ke bangsal lain.
Jihan mengamati keluarga El satu per satu dengan takut-takut. Penyesalan menyokol kuat, tapi ia tak mungkin berkutat dengan keberanian tipis jika ingin kesalahannya diampuni. Ia pun bangkit menghampiri Lilian.
"Maafkan saya. El terluka karena telah menyelamatkan saya. Baja itu seharusnya mengenai saya, bukannya El. Saya tidak seharusnya berdiri di sana ...."
"Siapa namamu?" Lilian memotong ocehan Jihan yang menurutnya tidak masuk akal sama sekali dan terdengar melantur.
Gadis itu mendongak untuk memberanikan diri sedikit menatap Lilian. Cuma beberapa detik sebelum ia menunduk lagi, meremas jari yang tak mengendurkan cemas.
"Jihan Nadira. Rekan kerja El."
Lilian tersenyum. Ia tidak tahu mengapa ia tersenyum pada wanita cantik di depannya. Lantas ia lebih mendekatkan diri. "Kamu menyesal membuat El terluka?"
Jihan mengangguk cepat.
"Kalau begitu, bantu dia sembuh. Mungkin itu cara yang tepat untuk meminta maaf yang sesungguhnya."
Jihan melupakan tangis. Melupakan harusnya ia bersedih. Ia malah melongo macam sapi bego.