Mobil yang ditumpangi dua insan itu berhenti di depan pekarangan rumah Ica. Gara mematikan mesin. Urung turun. Sebab wajah Ica yang larut dalam bunga mimpi terlalu menarik untuk dilewatkan.
Abaikan dekorasi decapan dan iler yang menyusup tak tahu diri di sudut bibir Ica. Gara bukan orang lain, yang akan mengernyit jijik lantas kabur. Gara tetaplah Gara yang sudah terlanjur terjengkang ke kubangan bernama ketidakwarasan semenjak ia menatah nama Ica di hatinya.
Mau seburuk apa pun tingkah ajaib Ica, tetap di mata Gara Ica selalu menggemaskan. Ia menerima kekurangan gadis itu apa adanya. Katakanlah ia sudah gila. Memang. Memilih bibit yang di mata orang lain di bawah kualitas daripada bibit-bibit lainnya yang unggul.
Di saat pilihan lebih bagus ketimbang Ica bergentayangan di sekitarnya; cantik, semampai, pintar, berdada busung, pantat busung, bibir busung pula, dan busung apalah-apalah yang lainnya. Gara tak gentar bertahan dengan pilihannya, hanya satu dan itu akan selalu Ica.
Malangnya, nasib buruk mengetuk pintu kehidupannya. Mempertemukan Ica dan abangnya pada garis takdir. Perjodohan.
Gara tahu sulit baginya untuk menerima. Bagaimana bisa ia yang memiliki cinta tulus, tidak diberi kesempatan untuk memiliki. Malah Tuhan menghadirkan orang lain yang menolak mentah-mentah perjodohan itu. Tragisnya orang itu abangnya sendiri. Kenapa bukan dia yang Engkau pilih, Tuhan?
Tidak patut Gara mempertanyakan keadilan Tuhan, tetapi mau bagaimana lagi, ia tetaplah manusia. Tempatnya salah dan kurang. Lumrah jika ia terkadang protes atas ketidakpuasan.
Napasnya tertarik lemah. Menghentikan aksi ilegalnya mencuri lihat Ica dan menyingkirkan sejenak perih yang sempat mengeyel tak mau pindah dari hatinya.
"Ica, bangun kita sudah sampai," lirihnya seraya menepuk pelan buntalan gembil pipi Ica.
Ica menggeliat. Merenggang tangan, tak sengaja mencolok mata Gara. Pemiliknya tak sadar, sibuk mengerjap. Memandang Gara sayu. Sementara Gara menyimpan perih dalam diam.
"Sudah sampaikah?"
"Iya," jawab Gara, menyipitkan mata satu. Sebelah kiri.
Ica melepas sabuk. Membuka pintu dan keluar gontai. Setengah jiwanya masih tertinggal di jurang alam sadar. Buru-buru Gara keluar, membantu Ica berjalan. Khawatir gadis itu tertidur berbantal tanah dan lecet sana-sini.
"Ica," panggil Gara lirih. Ia menahan tubuh Ica tepat di tengah-tengah pekarangan.
Ica menggumam asal. Ia menatap Gara, tak berdaya dengan kantuknya.
"Aku mohon Ica menolak perjodohan itu."
Ica menggeleng kencang. "Ica mau bayi, Gara. Satu-satunya cara biar bayinya cepat keluar ya nikah, kan? Ica mau perempuan. Biar Ica bisa dandani dia setiap hari. Pakaiin baju-baju lucu. Hih, Ica gak sabar Gara." Lengkap dengan ekspresi gemas.
Gara mengubah raut menjadi emosional. "Menikah tidak semudah yang kamu pikirkan, Ica! Berpikirlah dewasa. Kamu bukan bocah lima tahun yang menganggap bayi adalah boneka! Sadar tidak, keputusanmu itu hanya akan mendatangkan penderitaan untukmu. Untukku juga! Paham?!"
"Gara masih marah sama Ica."
Di tengah keremangan bolam kuning yang kehilangan separuh daya, Gara melihat embun mengelip-ngelip melapisi netra coklat itu. Kantuk Ica kontan melindap.
Gara membuang muka. Menusuk dinding pipi dalamnya dengan ujung lidah. Menyugar gusar rambutnya.
"Aku marah Ica. Marah mendengarmu akan menikah dengan abangku. Marah aku tidak bisa berbuat lebih."