Ia berdeham. Mengendalikan hasrat lelakinya meliar. "Tapi sebelum pulang, kita harus mengganti bajumu dengan yang lebih layak.""Aye captain!" Ica bersorak lengkap dengan gestur salut ala tentara.
"Maaf, mengganggu." Suara asing membuat dua orang itu yang tidak dalam keadaan pantas menoleh bersamaan. Gara terkejut bukan main. Wajahnya memucat.
_______
"Kafka," gumam Gara panik. Ia buru-buru menurunkn Ica dari pangkuannya.
Menggaruk kepala gugup. Berdoa semoga saja ia tak membuat Kafka salah paham.
Kafka sama sekali tidak peduli akan gestur salah tingkah Gara, melainkan ia memikirkan mengapa Gara mencium istri bosnya. Namun bukan urusannya untuk ikut campur. Ia hanya bekerja untuk perusahaan bosnya, dan urusan profesional terhadap bosnya saja. Satu lagi, papper bag yang ditentengnya, amanah dari bosnya.
"Ba—bagaimana kamu ada di sini?"
Dengan datar, Kafka berkata, "Saya ditugaskan Tuan El untuk mengantarkan pakaian dan sarapan untuk Nona Marisa."
Pria itu tidak sepenuhnya brengsek. Masih punya kepedulian terhadap Ica rupanya.
Gara meraih papper bag bawaan Kafka dan menyuruh Ica mengganti baju. Selagi Ica pergi ke kamar, Gara beralih menatap heran Kafka.
"Hanya mengantar itu saja, kan? Lalu kenapa masih di sini?"
"Sesuai perintah Tuan El, saya akan pergi setelah memastikan Nona Marisa memakai baju dan memakan sarapan yang saya bawakan."
"Tidak perlu. Aku yang akan memastikannya sendiri. Sekarang kamu boleh pergi. Dan satu lagi bilang padanya, hari ini Ica pulang denganku ke rumah."
"Maaf, Tuan Al, saya juga harus pastikan Nona Marisa tidak ke mana-mana."
Gara menyeringai sinis. "Dia tidak berhak menahan Ica di sini kalau yang bisa ia lakukan cuma menyakiti Ica."
Kafka tidak mengerti mengapa Gara terkesan kesal. Apakah sedang berselisih dengan abangnya? Padahal dulu adem ayem saja. Persaudaraan mereka lengket sekali. Tidak pernah bertengkar masalah serius, atau justru kini masalahnya memang sangat serius?
Astaga! Mengapa Kafka memikirkan hal yang bukan urusannya?
"Baiklah, saya mohon diri."
Betapa ia sangat merindukan ranjangnya ketimbang kembali ke perusahan dan menemukan wajah bosnya yang selalu sengak.
***
Di depan tiga puluh puluh lebih pemegang saham Oxen Group, melalui pendatanganan dokumen perjanjian kedua perusahan, miliknya dan perusahaan milik wanita itu, kini resmi diakuisisi menjadi satu di bawah naungan Oxen Group
Wanita itu yang El kenal sebagai rivalnya di segala bidang akademik di waktu SMA dulu, tidak menyangka akan dipertemukan secara bisnis begini.
Jihan, nama wanita itu. Secara fisik tidak berubah jauh. Masih pendek. Masih berpotongan rambut sebahu. Masih saja sengak. Hanya saja tubuh wanita itu lebih berisi khas wanita dewasa dan ... cantik.
"Apa lihat-lihat!"
Alis El naik sebelah. Menatap wanita itu yang duduk dua bangku dari kanan. Benar-benar wanita ini belum hilang sifat bar-barnya.
"Perusahaanku membeli 70 persen saham perusahaanmu, itu artinya aku adalah bosmu sekarang. Baik-baiklah dalam bersikap Nona Jihan, atau kamu memang menginginkan seluruh karyawanmu diganti besar-besaran," ucap El dengan sangat santai di tempatnya duduk.
Jihan tanpa sadar mencengkeram pulpennya.
Kalau bukan demi karyawannya, tentu Jihan tidak sudi menyerahkan perusahannya kepada El yang baru ia ketahui sebagai pemilik Oxen Group.
Daripada tidur dengan pria bandot tua, pemilik perusahaan satunya yang menginginkan syarat tidur bersama jika ingin perusahan Jihan selamat. Lebih baik ia serahkan sebagian besar saham kepada El, daripada tidur bersama dengan pria tua itu. Meskipun, rasanya tetap menjengkelkan bertemu dengan El lagi.
Pria yang dulu sering menyombongkan nilai akademiknya dan sering sekali menjailinya lewat mulut pedas pria itu.
Uh, mimpi buruk apa yang sedang ia alami sekarang! Sama saja keluar sarang buaya masuk ke sarang singa kalau begini!"
"Sepertinya kita butuh makan siang santai untuk membahas prospek perusahan ke depan."
"Tidak sudi!"
"Aku yakin kau bisa bersikap profesional, Jihan tanpa mencampurkannya dengan masalah pribadi kita dulu." El berkata dingin, mulai jengkel dengan sifat kekanak-kanakan Jihan.
Sial! Pria ini berhasil mempermalukannya di depan tiga puluh lebih orang di ruangan meeting milik perusahaan pria arogan itu.
"Baiklah, atur waktunya saja." Jihan berdiri diikuti sekretarisnya.
El ikut berdiri. Tanpa disangka Jihan mengulurkan tangan dan mereka berjabat tangan sebagai bentuk kesepakatan.
"Semoga Anda tidak mengingkari janji."
"Tentu saja, jika iya, tentu perusahaanku tidak akan memiliki lebih dari puluhan anak perusahaan dan aku yang tidak akan menyandang gelar orang terkaya di Indonesia."
Sombong! Jihan tidak menggubris tapi ia terganggu oleh cincin perak di jari manis kiri pria itu.
"Dan selamat untuk pernikahan Anda."
"Terima kasih."
"Semoga istri Anda tidak tersiksa dengan kearoganan Anda."
Meski Jihan berkata biasa, El tahu benar setiap yang keluar dari mulut Jihan adalah berbisa.
"Dan kuharap pasanganmu juga tidak tersiksa dengan sifat bar-barmu yang kadang lupa tempat."
Jihan tertawa menutupi kesal, justru memukul lengan El, pura-pura malu. Padahal itu bentuk balas dendam.
El meringis kekuatan wanita ini masih juga tidak berubah.
"Anda bisa saja." Jihan benar-benar puas.
______