"Al, mama ingin bicara." Lilian menghentikan Gara di akhir tangga."Aku ada janji dengan Sana, Ma."
"Sana siapa?"
"Pacarku."
Lilian tidak mengerti mengapa Al bisa memacari gadis lain, sementara ia mencintai Ica.
"Pacar? Apa kamu menyukai Sana?"
Al geming. Sesuatu yang mencurigakan. Prasangka Lilian menuduh Alsagara sedang melarikan perasaannya kepada orang yang ia akui sebagai pacar.
"Al ...."
Cepat-cepat Alsagara memotong kalimat Lilian. "Aku sudah sangat terlambat untuk mengantar Sana ke bengkel."
"Mama minta maaf soal Ica."
"Bukan salah Mama atau pun Papa." Gara tersenyum. Jenis yang dibenci Lilian karena bukan berasal dari hati. Gara melirik jam tangannya. "Aku harus berangkat, Ma."
"Sampai kapan kamu terus menghindar!" Seruan Lilian menghentikan langkah Gara.
"Al, sudah ikhlas, Ma. Tidak apa-apa. Mungkin Al mencintai Ica, tapi untuk sekarang sudah tidak ada gunanya ketika abang sudah mau menerima Ica."
Lilian membeku. Kali ini ia membiarkan anaknya pergi setelah memberikan satu senyum lemah yang mampu membuat Lilian menaruh iba. Barangkali anak bungsunya sedang berlagak sok tegar dan memberitahukan kepada semua orang yang melihatnya bahwa ia baik-baik saja. Bohong! Gara bukan pembohong ulung di depan Lilian.
Lilian tahu benar kedalaman hati anaknya yang mencoba untuk kuat di luar, tetapi keropos di dalam. Anaknya sedang patah hati akut.
***
Sejak El bangun dari tidurnya keesokan harinya, ia punya perasaan agak berbeda. Ica memang tidak bangun di kamarnya, melainkan kamar yang lain. Bukan berarti hubungan baik semalam, berlanjut ke ranjang. El tidak akan lagi memaksa Ica untuk berperan sebagai istri sesungguhnya.
Masih ada banyak waktu untuk saling memahami dan mengenal. Terlebih soal memperbaiki hubungan, itu yang sedang coba El lakukan pelan-pelan.
Kembali soal perasaan berbeda. Ini agak sentimentil. Ketika ia sudah rapi dengan baju kantornya dan keluar dari kamar, sambutan yang tak terduga datang dari senyum manis Ica di balik pintu yang ia buka. Entah bagaimana bisa itu mempengaruhinya.
"Selamat pagi, El. Tidurnya nyenyak tidak?"
"Iya, kau sendiri?"
Ica mengembangkan kurva di bibirnya. Bulan separuh. "Iya."
Ratusan pagi yang lalu tidak seindah ini kalau tidak salah ingat. El, kalau gila jangan hari ini, nanti kau merusak kerjamu, El memperingati dirinya sendiri.
"Apa kau memimpikanku?" Pancingan yang bagus, El.
Gelengan Ica merontokkan sesumbar dan lebih parah lagi saat Ica berkata, "Aku bermimpi Gara mencium Ica."
Sebuah artikel yang pernah El baca. Terkadang mimpi merupakan refleksi keinginan alam bawah sadar si pemimpi. Kalau memang begitu, bisa jadi tanpa gadis itu sadari, ia menginginkan Gara. Stop berpikiran yang tidak-tidak, El!
Ibarat tadi fluktuasi, sekarang Ica berhasil membuat perasaannya inflasi. Dia salah besar jika mengira pagi ini indah. Wajahnya menggurat masam, tapi tidak sampai marah. Untungnya, tidak ada dalam pikirannya untuk membanting sesuatu—kebiasaanya marah.
"Jangan sekali-kali mencium Gara lagi! Dia adik iparmu sekarang. Ada batasan interaksi fisik antara kalian karena bagaimanapun juga kalian bukan saudara sedarah. Tidak lazim, bertingkah intim dengan saudara sendiri, paham Ica?"
"Hanya aku yang boleh menciummu. Begitupun sebaliknya, karena aku suamimu dan kau istriku. Sah melakukan kontak fisik sebebas mungkin, kecuali melakukan kekerasan untuk menyakiti."
Anggaplah El egois. Untuk apa dipermasalahkan. Dia punya hak atas Ica, jadi suka-suka dia mengklaim Ica hanya untuk dirinya saja. Dan bagian terakhir, El merasa setara munafik. Namun, tidak untuk hari dan waktu mendatang, sebab ia berjanji tidak akan mengulangi kekerasan tempo hari.
Di pikiran Ica terjadi kontradiksi. Tidak boleh mencium Gara, tapi boleh mencium El. Tapi, dia lebih suka Gara daripada El. Tapi, kalau El melarang, Ica tidak boleh membangkang. Takut El marah. Ica pun mengangguk. Diputuskannya himbauan El sebagai panutannya.
El menyentuh kedua pundak Ica dan gadis itu perlu mendongak agar matanya sampai di pandangan El. "Dengar, Ica. Aku mungkin memperlakukanmu buruk sebelumnya, tapi aku berjanji tidak akan begitu lagi dan mulai sekarang, kau jangan sungkan meminta apa pun dari suamimu ini."
"Benarkah?"
"Aku mungkin brengsek, tapi bukan pria yang mudah ingkar janji." El berkata sangat sungguh-sungguh.
Ica tidak tahu kenapa hatinya mendadak menghangat, tapi satu hal pasti, ia mulai nyaman ketika El tersenyum kepadanya. Ketika pria itu tidak marah-marah sembarangan.
"El, sini nunduk."
Alisnya berkerut sebentar sebelum ia menurut dan urung bertanya. Satu ciuman di pipinya adalah jawabannya. Alisnya kini naik bentuk dari gestur keheranan.
"El bilang tidak boleh cium Gara. Bolehnya cium El saja."
El meneggakkan punggung. Berdeham sebentar untuk memperbaiki ritme jantungnya yang kena gempa.
"Barang-barangmu akan dipindahkan hari ini, jadi kamu tidak perlu memikirkannya. Kau suka masak, bukan? Lakukan. Kau bahkan boleh melakukan apa pun yang kau suka di apartemen ini karena tempat ini sudah menjadi rumahmu. Rumah kita."
Tunggu! Kita, dari mana kata itu muncul sementara El tidak begitu ingat memikirkannya. Empat bilik jantungnya gempa lagi.
"Well, kau tidak perlu membuatkan sarapan hari ini. Aku akan sarapan di kantor saja." Sebenarnya El sedang melancarkan aksi menghindar. Berada lebih lama di tempat yang sama dengan Ica, ditakutkan jantungnya lama kelamaan abnormal. Sungguh seorang El yang mau kepala tiga bisa-bisanya kasmaran macam remaja baru puber. Tidak elit sama sekali.
El menjulurkan tangannya. "Bakti istri kepada suami. Cium tangan." Ica nyengir dan meraihnya.
"Hati-hati," gumam El. Sebelum ia beranjak ke pintu luar. Instingtifnya ambil peran, mencium lembut kening Ica. "Kalau begini, terus, aku akan sulit meninggalkan apartemen."