El luar biasa lelah. Seharian di kantor, rapat mengurusi akuisisi perusahaan. Menyetir sendirian dari kantor ke rumah orang tuanya untuk menjemput Ica. Belum lagi pertengkaran terhebatnya dengan adiknya, menguras seluruh tenaga dan pikiran.Ia rebahkan kepala ke sandaran sofa. Memijat ketegangan di pangkal hidungnya. Bukan main pusingnya.
Sementara Ica sejak tiba berdiri menjaga jarak sejauh lima meter, bersembunyi di balik rak. El membuka mata, merasa aneh dengan tingkah Ica.
"Mengapa menjauh?" El bertanya, sambil mengubah posisi duduk. Menumpukan siku ke lututnya. Menatap tajam Ica.
"Takut!" terang Ica jujur.
"Aku tidak akan marah. Daripada tidak melakukan apa-apa lebih baik kau obati bibirku." El disadarkan kembali saat ia menggerakkan bibir, terasa sakit. Saat diraba, terasa bengkak. Ulah Gara memang sangat laknat.
"Pakai salep? Gara juga pakaikan salep saat Ica sakit karena El jahat melukai dagu Ica."
Nama itu, untuk saat ini, El tidak ingin mendengarnya. Akan ada ledakan amarah setiap nama itu disebut, tapi tak mungkin ia marah ketika Ica takut akan hal itu.
El mengernyit, sejak kapan ia peduli akan ketakutan Ica dan sejak kapan ia menyesal waktu itu menyakiti Ica?
"Kau bisa pergi ke dapur dan bawakan aku es dan handuk. Aku ingin kamu mengompres lukaku. Sekarang Ica."
"Baiklah."
Ica dengan patuh membawakan apa yang diminta El. Ia duduk di samping El dan mengamati lukanya. Lekuk bibir Ica berkerut. Pun kening. Berpikir sangat serius.
El yang resah dan tak sabar menunggu diamnya Ica usai, bertanya, "Apa yang kau pikirkan?"
"Bukankah es untuk demam ya, El?"
El menghela napas. Mulai sekarang El perlu belajar keras untuk lebih bersabar menghadapi Ica. "Tidak untuk demam saja, tapi juga dapat mengurangi pembekuan darah dan pembengkakan akibat cidera. Mengerti!"
"Oh." Mulut Ica membulat dan atas desakan El, gadis itu dengan lembut dan teliti menekan penggiran bibir El dengan es yang dibungkus handuk basah.
"El, gak baik tauk berantem sama Gara. Bukankah kalian itu kakak adik, ya. Harusnya saling menyayangi. Lain kali jangan diulangi lagi, ya? Ica sedih melihatnya. Karena Ica jadi ingat kalau Ica gak punya saudara. Padahal Ica kalau punya saudara gak akan main pukul begitu. Ica pasti akan jaga saudara Ica baik-baik!"
Apa El baru saja dinasihati oleh gadis bodoh?
"Karena kamu yang menyebabkan pertengkaran kami?"
"Ica?" Ica bukan main terkejutnya. "Emang salah Ica apa? Kok bisa bikin kalian berantem?"
Saking gemasnya, El menjitak kepala Ica dan itu membuat Ica protes. Lantas mempertanyakan mengapa El berbuat kasar kepadanya.
"Bisa tidak kau gunakan otakmu secara benar!"
Jika dipikir-pikir mendalam, kasus El dan Al sangat konyol sekali dan hal terbodoh yang pernah El lakukan. Bagaimana mereka bertengkar hanya untuk memperebutkan gadis yang bahkan tidak sadar dirinya yang jadi permasalahan pertengkaran terhebat mereka.
"Maaf, El. Ica memang bodoh. Tidak tahu apa-apa. Ica juga ingin pintar seperti Gara yang bisa juara kelas dan El yang bisa kerja di kantor. Tapi Ica cuma bisa masak dan menjahit." Ica menunduk. Selayaknya anak kecil yang ketahuan melakukan kesalahan dan dimarahi orang tua. Diam-diam Ica menangis, menyembunyikan air mata dari pandangan El.
El mencoba untuk objektif, berpikir lewat sudut pandang Gara. Mencari letak kelebihan Ica yang membuat Gara bisa menyukai Ica. Gadis ini memang cantik dan menggemaskan, tapi El yakin sekali Gara bukan lelaki pendek akal yang hanya menilai gadis dari fisik.
Gara yang memiliki kecerdasan intelijensi harusnya memilih gadis yang mampu mengimbangi otaknya, justru sebaliknya, malah memilih gadis bodoh ini. Artinya kemampuan otak bukan tolak ukur bagi Gara.
Lantas apa? El tidak menemukan satu titik pun pencerahan dari observasi dadakannya.
Pun ia juga tak mengerti alasan apa yang membuatnya mati-matian mempertahankan Ica. Apa mungkin ia dan Gara juga tak tahu alasan pasti mengapa Ica begitu berpengaruh besar bagi mereka.
Bagi El mencintai Kiara sangat mudah, tetapi lain hal ketika ia tak memahami perasaannya sendiri terhadap Ica. Benar-benar sangat sulit.
"Jika aku memberimu pilihan, kau akan pilih siapa, aku atau Gara? Mana yang lebih baik?"
Oke, El perlu mempertanyakan kewarasannya atas pertanyaannya yang kekanak-kanakan.
"Kenapa Ica harus memilih?"
"Karena akan jadi pertimbangan buatku."
Pertimbangan untuk menelaah semua ini untuk kelanjutan hubungannya dengan Ica selanjutnya.
"Gara. Ica selalu nyaman dengan Gara."
El membuang muka. Bibirnya membentuk simetris. Ia terlalu marah sekarang. Namun ia masih memiliki sisa akal sehat untuk dipertahankan.
"Lupakan Gara sejenak, bisa? Lihat aku saja dan pikirkan aku."
"Kenapa?" Mata bulat itu berkilat selain embun, juga keheranan.
"Karena aku mau jadi temanmu."
"Benarkah?"
"Apa aku kelihatan berbohong?"
Justru Ica menunjukkan kelingkingnya. "Janji?! Teman gak boleh jahat dan marah-marah!"
Untuk tingkah menyebalkan sekaligus menggemaskan Ica, El tersenyum. Jarang sekali ia bisa tersenyum serileks ini. Lantas ia melilit kelingkingnya dengan kelingkingnya Ica.
"Pinky promise," bisik El.