"Silang, putar, masukin, putar ... kanan atau kiri, ya?!" Ica memandang dasi latihannya bingung, lalu setengah frustasi mencopotnya lagi. Ulang dari awal.Sejam setengah, Ica menahan Barga untuk dijadikan kelinci percobaan. Padahal ia mau mancing bersama kawan satu komplek. Sudah janji soalnya untuk mancing di TPU (Tempat Pemancingan Umum). Apalah daya demi mantu tersayang yang dihukum belajar pasang dasi oleh suami, Barga merelakan waktu berharganya.
"Mama gak bisa!" Ica sudah benar-benar menyerah. Membiarkan dasi El menggantung di leher Barga. Ia mencomot Tutu yang menggusel kakinya. Merebahkannya di pangkuan dan mengelusnya sambil mendumal.
"Nanti lama-lama juga bisa." Lilian mendekat. Senampan teh camomil dan sepiring onde-onde ia bawa ke ruang tengah.
Ia melirik suaminya saat meletakan itu di meja, tahu dalam sekali lihat bahwa suaminya sedang menahan kecewa berat. Acara mancingnya batal. Rutinitas wajib yang dilakoni semenjak El mengambil kepemimpinan perusahaan.
"Belajar besok lagi saja, Ca. Papa capek," dalihnya. Padahal hanya duduk saja, tapi punggung tuanya memang sudah tidak sanggup diajak tegak lama, pasti pegal. Lalu pria tua itu merebahkan kepala di lengan sofa, dan meminta Ica geser karena ia mau menyelonjorkan kaki. Mengistirahatkan punggung.
Ica mengangguk. "Tapi Ica harus bisa pasangin dasi, kalau gak. Ica gak bisa pergi ke kantor El dan kerja di sana?"
"El mengizinkanmu bekerja di kantor?" tanya Barga cukup terkejut. Pasalnya anaknya sangat jeli dan hati-hati dalam merekrut karyawan, bahkan menentang adanya sistem orang dalam. Namun lain hal kasus Ica sendiri, istri El yang mungkin tidak sanggup El tentang segala permintaannya.
"Iya, tapi pake syarat. Seminggu harus bisa pasangin El dasi, kalau gak bisa-bisa ica gak dibolehin kerja di kantor El."
Barga terkekeh sambil geleng kepala. "Dasar bucin!"
"Kamu serius mau kerja di tempat El, Ca?" Kali ini Lilian yang bertanya.
Ica semangat mengangguk.
"Kerja di tempat El gak menyenangkan sekali. Kamu akan sering melihat El marah-marah."
"Ica udah lihat. Di kantor El gak pernah tersenyum."
Lilian membenarkan. Cuma di rumah saja, anak sulungnya bisa tersenyum lepas dan seringnya itu berkat hadirnya Ica.
"Lebih baik, urungkan niatmu, Ca. Pekerjaan di kantor sulit. Tidak seperti masak dan menjahit."
Sulit apabila bukan keahliannya. Lagipula yang jadi kekhawatiran Lilian, Ica tidak mampu beradaptasi pada lingkungan yang persaingannya mengandalkan jabatan, tingkat pendidikan, ilmu dan jam terbang. Ica tidak akan bertahan lama karena semua itu tidak ia miliki.
Lain Lilian, lain pula Barga. Justru kekhawatirannya terletak pada El. Ia membayangkan El tidak mampu berkonsentrasi pada pekerjaan karena disita oleh eksistensi Ica. Pasti El akan bucin—Barga pinjam istilah anak muda zaman sekarang yang bermakna diperbudak cinta. Akibatnya pekerjaannya amburadul serta lebih banyak pula korban kemarahannya. Barga geleng-geleng kepala, prihatin.
"Kenapa tidak Ica kerja di tempat El? Biar Ica memiliki pengalaman, mungkin dia juga bosan dengan rutinitas sekarang. Siapa tahu dia bisa menggali potensi keahlian lain." Barga dengan bijak mengurai persetujuan Ica bekerja di perusahaan.
Cukup desahan panjang dari Lilian saja, ia tidak punya wewenang untuk melarang karena tugasnya hanya sebagai ibu rumah tangga yang memiliki hak untuk memberi nasihat bijak.
"Oh, hari ini Al janji akan video call. Sebentar mama ambil laptop."
Tak lama Lilian sudah mempersiapkan laptop di meja. Mereka bertiga berdempet di depan laptop dengan Ica di tengah. Kanan kiri, Barga dan Lilian.