4. Kesal!
Ica menekuk bibir sepanjang hari, gara-gara Gara mendiamkannya di sekolah. Setiap didekati cowok itu melengos. Re yang duduk di sampingnya acuh tak acuh. Sibuk belajar buat ujian daripada mengurusi Ica."Re tahu tidak, Gara kenapa?"
Re angkat wajah. "Mana kutahu? Kamu gak cerita penyebabnya."
"Gimana Ica mau cerita, Ica saja tidak tahu."
Sebenarnya Re pengin banget belajar di perpustakaan, atau kalau perlu di pojokan kuburan saja. Tidak apa-apa mistis. Yang penting tidak ada Icanya. Pasalnya gadis itu bukannya belajar, malah mengajak Re bercakap. Padahal yang dibutuhkan Re sekarang itu konsentrasi penuh. Sayangnya, Ica terlalu tulalit untuk mengerti Re.
"Re, cerita, dong. Kenapa diam saja?"
"Aku sedang belajar, Ica. Jangan ganggu!" Re menahan geram di balik lengkungan manis bulan sabit bibirnya yang dipaksakan.
"Lebih baik kamu juga belajar, Ica. Kamu butuh ekstra belajar dua kali lipat dari murid pada umumnya jika kamu ingin lulus," lanjut Re lagi.
"Ah, iya." Dan gadis itu pun mulai membuka lembar bank soal.
Re bersyukur untuk sementara ini ia bisa bernapas damai, hingga akhirnya negara api menyerang. Buku di tangan Re melayang. Ia menimpuknya kasar ke kepala orang yang baru datang membawa berisik. Re mencak-mencak. Ia lebih brutal dari seorang warga +62 menangkap maling.
"Dasar kentut platipus! Gak tahu apa lagi belajar! Seenaknya gangguin aku!"
"Adaww!"
Ica bertepuk tangan. Ia suka keributan. Baginya, Re dan Tukang Tipu lucu. Kayak kucing oren sama kucing oren milik tetangganya. Tidak pernah akur.
"Dipisahin, kek malah tepuk tangan!"
"Abis kalian lucu setiap ketemu selalu bentrok."
Mengharapkan Ica membantunya adalah sebuah kesia-siaan yang hakiki. Tukang Tipu menyesal sempat mengharapkan Ica membantu. Ia harus berusaha sendiri untuk menyelamatkan nyawanya dari terkaman singa PMS. Ia pun merebut buku setebal buku ensiklopedia di tangan Re dan barulah ia bisa selamat sentosa.
"Lu pacar gue, mana ada orang pacaran saling baku hantam begini!" Tukang Tipu protes. Warna merah paripurna bergumul di wajahnya, kesal luar biasa.
Re tak kalah kesal. Ia kembali duduk. Mengabaikan entitas Tukang Tipu. Tukang Tipu berdecak, ia ambil tempat di bangku panjang itu di sisi Ica, berseberangan dengan Re yang kini memilih menunduk, memainkan pulpen. Sibuk melanjutkan kegiatan. Padahal tidak, sedang dalam mode abai saja.
"Tukang Tipu, Re itu sedang banyak masalah jadi marah-marah."
"Harus gue bilang, nama gue Andi."
"Ica lupa."
"Hobi banget lu ngatain gue Tukang Tipu?!"
"Abis Andi suka nipu Re. Bilangnya jemput jam empat, tapi ternyata jemputnya jam lima. Terus Andi suka ngasih bunga ke Re, tapi bunganya plastik. Andi juga suka ngasih Re harapan palsu. Andi juga suka nipu bu guru, bilangnya ngerjain PR sendiri, padahal hasil nyontek. Pernah Andi telat, tapi bilangnya macet, tapi Ica lihat Andi makan di kantin sebelum masuk ...."
"Cukup!" Andi angkat tangan, tidak kuat mendengar daftar dosanya dijabarkan amat enteng dari mulut spesies langka yang Andi masih herankan keberadaannya di kolong langit yang bernama bumi ini.
"Ica belum selesai ...."
"Iya gue tahu. Jadi gak usah disebutin satu-satu."
Andi beralih menatap Renata. "Re, gue minta maaf. Gue tahu gue salah gak balesin chat lu semalam padahal gue lagi on."