"Aku menghamili Kiara."
Kata-kata laknat yang tak senonoh itu seharusnya tidak pernah meluncur enteng dari mulut El kalau tahu akan berakhir buruk seperti ini, dengan Lilian yang terbaring pingsan di rumah sakit. Didiagnosis dokter serangan jantung ringan beberapa saat lalu, dan kini mamanya tidur pulas setelah mendapatkan penanganan intensif.
Apakah ini semacam senetron picisan, di mana nantinya ia akan diancam oleh sebuah wasiat yang meluncur terbata-bata di bibir kering Lilian pasca ia sadar nanti. Menyuruh El menikahi Ica supaya Lilian bisa damai di akhirat kelak.
Sungguh ia yakin bahwa adegan itu amat klise dan memuakkan. Ia berdoa semoga saja Lilian tidak tega mempraktikkan adegan yang ribuan kali ia tonton itu dan menjadikan El kelinci percobaan.
Ketukan sandal jepit menggema di ruang rawat VIP itu, menyadarkan El dari segala pikiran antah-berantah. Pelakunya tentu saja Barga, melotot, menancapkan tatapan seruncing ujung panah, berpose selayaknya penguasa tirani hendak menghukum kaum proletar yang baru saja berbuat kesalahan fatal.
Bahkan, saking paniknya Barga karena Lilian pingsan, ia tak peduli penampilannya tidak etis ditunjukkan di muka umum. Sandal jepit, kaos usang serta celana kargo kesayangannya di rumah sudah sobek di bagian lutut. Tidakkah ia mirip gembel sekarang? Orang awam tidak akan percaya jika pria mirip gembel itu pernah mengakuisisi perusahan-perusahaan besar dari balik kursi singgasananya.
"Jadi, apa pembelaanmu sekarang, Elazar Rayana?"
Bukannya menjawab, El memutar sudut matanya empat puluh lima derajat mengarah ke tempat Gara yang berdiri sekaku tiang infus. Tatapannya berbalas pandangan bersalah.
Ingatkan El untuk menjambak rambut adiknya begitu di luar ruangan ini nanti.
"El bersumpah tidak melakukannya, Pa?" Sebagai pria jantan, ia akan jujur. Sebab jujur adalah harga diri seorang pria dan berbohong sama saja pengecut karena berlindung di balik kedok kebohongan, itu artinya sama saja takut kejujuran akan menghancurkannya.
Mata Barga segaris, ia belum mau meletakkan kepercayaan di lidah anaknya.
"Mungkin El pernah bercumbu dengan Kiara, tapi percayalah El tidak pernah kelepasan sampai bertindak sangat jauh."
"Bercumbu?!" Barga makin melotot. Sesak napas. Gara sudah stand by di samping Barga begitu melihat ayahnya limbung.
El jelas panik. Tindakannya hendak membantu papanya harus batal sebab Barga angkat tangan duluan.
"Dengar, Pa. Kiara tidak hamil. Apa yang tadi El bilang itu semua hanya ...." Mendadak El menelan timah panas, menelan ludah seret. "Hanya supaya perjodohan itu batal dan El bisa menikahi Kiara dengan dalih palsu itu."
"Pergi!"
"Jangan salahkan aku saja. Semata-mata ide itu dari Al. Harusnya Papa juga salahkan dia!" tunjuk El berang pada adiknya.
Barga menghempas tangan Gara. Sama-sama melemparkan tatapan murka stadium akhir. "Kalian anak-anak yang bodoh! Mementingkan kepentingan sendiri ketimbang keinginan orang tua. Inilah akibatnya yang kalian perbuat. Untung saja Mama kalian hanya pingsan, coba kalau mati apa kalian akan menyesalinya? Sebaiknya sebelum bertindak dan berucap, timbang untung ruginya, sebab akibatnya dulu. Papa kecewa pada kalian?!"
"Dan kau El ... tidak ada toleransi lagi. Kau harus menikahi Ica begitu ia lulus, itu hukumanmu untuk menebus kesalahanmu pada mamamu. Keluar dari sini dan jangan bertatap muka dengan papa dan mama. Kalau perlu minggat saja sana! Kami tidak ingin melihat muka hina kalian selama seminggu!"
Kedua kepala itu tertunduk, berat. Seolah seluruh beban berteleportasi seluruhnya ke kepala.
Benar saja, begitu mereka keluar ingatan El menjambak adiknya terlaksana baik. "Andai saja aku tidak menuruti ide gilamu, tentu keadaan tidak akan serunyam ini!"