Ada suatu malam pasca menikah yang disebut malam pertama. Kebanyakan gadis yang berusia cukup umur, akan bersikap malu-malu kucing, atau lebih ekstrem menjerit macam terkena pelecehan seksual karena didorong oleh perjodohan yang tidak diinginkan.
Justru kebalikan dengan Ica, gadis itu malah dengan polosnya menatap El dengan balutan dalaman saja. Merasa tidak terancam sama sekali dengan jelmaan singa temperamental yang baru saja bangun di dalam diri El. Atau memang gadis itu tidak menyadarinya. Benar-benar sebuah anomali yang menjengkelkan.
Seorang pria normal tentu bagian dalam dirinya berdenyut nyeri mendapatkan pemandangan ini, tetapi kesadaran akan betapa bodohnya Ica, menguburkan hasrat.
Dia tidak mau melakukannya kepada wanita yang tidak ia cintai. Kepada gadis yang tidak ia inginkan untuk menghangatkan ranjangnya sampai kapan pun. Tidak dengan gadis bodoh itu. Gadis yang bahkan terlalu naif dalam hal memahami bagian paling sensitif di dalam tubuhnya yang tidak seharusnya diekspos secara eksplisit di depan pria normal. Meski status mereka telah sah menjadi sepasang suami istri.
El berkecak pinggang, memijit kening serta memejam.
"Tuhan, ampuni dosa-dosaku selama ini," rintih El putus asa.
"El, kenapa? Pusing? Sini biar Ica pijat!" Gadis itu mendekati El, mengulurkan tangannya, hendak menggapai kepalanya.
El menggeram, menepis tangan porselin itu. Memijat hanya memakai dalaman saja, adakah hal yang lebih buruk lagi selain itu?
"Bersihkan dirimu cepat dan ganti baju di kamar mandi! Setelah itu pakailah baju apa saja asalkan tidak memakai dalaman sialan itu!" El berkata-kata kasar tanpa melirik Ica.
"Tapi El bagaimana?"
"Jangan pedulikan aku! Cepat, Ica!"
Ica bersungut. "Jangan marah-marah, lho El. Nanti cepat mati."
Karena sudah habis sabarnya, El mendorong kasar tubuh Ica ke kamar mandi. Tanpa menghiraukan ocehan protes Ica.
Suara guyuran menjadi penanda bahwa protes Ica vakum dan gadis itu mulai mandi. Sejauh ini El bisa bernapas lega.
Ia pun melepas dasi, jas dan sepatu. Duduk tepekur di tepi ranjang. Bahkan hanya ada satu ranjang berukuran besar dan tidak ada sofa untuk ia tiduri malam ini.
Sungguh mamanya memang sudah merencanakan kejahatan secara struktur untuk meraih apa yang menjadi ambisi Lilian. Pembuatan cucu pertama.
"El, tidak ada baju di sini!" teriak Ica.
Pangkal hidung El kian berdenyut nyeri. "Ada jubah mandi di sana, pakai itu!"
"Gak ada!"
"CARI!"
"Oh, ketemu!"
El hampir tak bernapas. Bayangan mesum mulai berkelebat dan El benar-benar laknat sempat membayangkan yang tidak-tidak mengenai tubuh polos Ica.
Beberapa menit setelahnya bau harum lavender merebak sampai di hidung El begitu Ica membuka pintu kamar mandi.
Setidaknya, gadis itu tidak membuatnya frustrasi kembali dengan jubah mandi yang menenggelamkan tubuhnya.
"Wah, segarnya!" pekik Ica senang.
"Pakaiannya ada di walkin closet."
El buru-buru mandi. Melepas semua pakaian. Berdiri di bawah pancuran. Air dingin langsung mengguyur kepalanya, ampuh meredakan panasnya otak.
Merasa sudah lebih baik, ia menuntaskan sesi mandi. Ia keluar dalam lilitan jubah mandi.
"El, lihat Ica cuma menemukan ini saja."