Episode tangis Ica berakhir ketika ia sadar bahwa bel mengundangnya masuk ke kelas dan menghabiskan seluruh sisa pelajaran dengan pikiran carut marut.Ketika waktu cepat berlari, tahu-tahu Ica menggendong ransel. Pulang ambil langkah tak seringan biasa. Sisa kesedihan gara-gara sikap Gara yang cuek masih mengganduli hatinya. Keluar gerbang sendirian, ia menunggu angkot beberapa meter dari sana. Namun sebuah Alphard mengilap berhenti tepat di depannya.
Belum habis kaget Ica, kaca mobil diturunkan. Lilian melambaikan tangan di baliknya dan sedih Ica langsung terhempas secepat angin menerbangkan debu di sore terik itu.
"Tante Lilian!" Ica memekik, ranselnya terlonjak saat ia melompat kecil.
"Ayo masuk! Tante mau ajakin kamu ke rumah."
Paras Ica menggurat bingung. Lilian tak sabar menunggu bingung Ica habis. Ia keburu keluar dan mendorong Ica masuk mobil.
"Bibi An dan Paman Han bagaimana? Ica belum minta izin." tanya Ica ketika kempat ban mobil menggelinding di jalanan.
"Tidak perlu cemas, Ica. Mereka sudah mengizinkan begitu Tante meminta."
Di perjalanan, Ica tak berkomentar. Mulutnya penuh gula-gula dan camilan. Pertanyaan lainnya seperti, mengapa ia dibawa tiba-tiba, tidak ia pedulikan. Bahkan sama sekali tak terlintas. Dua ituㅡgula-gula dan camilanㅡjika dipertemukan Ica, segalanya tidak ada artinya lagi baginya.
Tahu-tahu ban berdecit tepat di sebuah rumah mewah yang dibayangkan Ica hanya ada di buku dongeng.
"Ica di mana Tante?"
"Di rumah Tante."
Mulut Ica membulat. Belum habis ia mengagumi rumah itu, Ica ditarik Lilian ke dalam.
"Wow, Tante, rumahnya bagus banget kayak istana Disney."
"Iya. Sebagai calon istri El, Tante harus mengenalkan rumah ini padamu. Nantinya kamu akan tinggal di sini setelah menikah."
"Oh." Mendadak raut Ica meredup. Hal itu dilihat Lilian dan menciptakan tanda tanya besar.
"Ica kenapa sedih?"
"Kalau Ica tinggal di sini, bagaimana dengan Bibi An dan Paman Han? Apa mereka juga akan tinggal di sini?"
"Tidak, Ica. Kalaupun Tante meminta mereka tinggal di sini, mereka tidak akan mau."
"Kenapa?"
"Karena setelah kamu menikah, kamu akan menempuh hidup baru dengan keluarga barumu. Tentu Paman An dan Bibi An tidak ingin ikut campur. Mereka sudah tidak memiliki kewajiban untuk menjagamu karena semua tanggung jawabmu akan dilimpahkan kepada El, suamimu nanti."
"Kenapa?"
"Karena dia suamimu, dia yang akan menanggung hidupmu, menanggung dosamu pula dan dialah jalanmu menuju surga yang diridai Tuhan."
"Oh." Ica anggut-anggut. "Kenapa?" tanyanya lagi. Jangan lupakan polosnya yang awet itu ketika ia belum bisa menangkap satu pun maksud lawan bicaranya.
Lilian menepuk dahinya. Lelah jiwa raga. Dia pikir Ica mengangguk karena mengerti, ternyata penjelasan sepanjang jalan kenangan terlalu awam untuk dipahami otak limit Ica. Astaga! Lilian perlu bekerja ekstra untuk memberi pemahaman kepada Ica tentang banyak hal pasca menikah nanti.
Lilian tiba-tiba menatap Ica horor, bagaimana dengan malam pertama? Apa ia perlu menjelaskannya secara detail atau ia perlu memberi gambaran nyata?
Mendadak kepala Lilian pening. Ia mengibas bayangan absurd Ica yang begitu polosnya bertanya tentang malam pertama. Biar El saja yang menjelaskan nanti. Untuk sekarang bukan hal penting yang perlu dicemaskan.
"Nanti juga kamu akan paham setelah menikah, Ica. Sekarang lihat-lihat rumah Tante, yuk. Sekalian bantuin Tante nyiapin makan malam untuk keluarga Tante. Tapi sebelum itu, kamu ganti baju dulu. Tante akan menyiapkan pakaianmu."
Ica mengangguk amat antusias. Dia suka sekali memasak. Kemampuan memasaknya patut diacungi jempol. Satu-satunya hal yang bisa ia banggakan tanpa sadar bahwa hanya memasak ia dapat diakui memiliki kelebihan. Karena setiap manusia lahir tidak muluk kekurangan saja, pasti ada kelebihan. Entah di bidang akademik, nonakademik, maupun skill lainnya di kehidupan sehari-hari. Bahkan memanjat pohon pun sebuah kelebihan yang tidak semua orang miliki.
Tuhan begitu sempurna menciptakan manusia, tapi terkadang dianggap sebelah mata di mata manusia lain. Mentang-mentang tak sebanding atau di bawahnya mereka menganggapnya buruk. Dikucilkan jadi hal lumrah. Benar-benar manusia model begitu perlu dislepet sarung atau minimal olesi matanya dengan sambal emak tiri. Biar sadar sombongnya manusia tidak akan pernah pantas disandingnkan sombongnya Tuhan.
***
Ica keluar dari kamar tamu dalam keadaan segar sehabis mandi. Seragamnya sudah berganti dengan sebuah gaun pinjaman warna pastel selutut. Lilian puas dan takjub. Ica tetap cantik tanpa riasan apa pun dan akan jauh lebih cantik apabila didandani seperti seorang ratu. Tapi tentu bukan sekarang waktu yang tepat, sebab waktu terlalu mepet dan ia perlu memasak saat ini juga.
Lilian menggiring Ica ke dapurnya yang super lengkap dan mewah tentu saja. Binar mata Ica mengeksplor tiap sudut dan barang yang baginya selayaknya harta karun berkilauan. Ia menyebutnya sebuah tempat paling indah yang belum pernah ia kunjungi.
Ica tidak pernah mengenal kata malu sejauh ini, sepanjang hidupnya, kira-kira. Malunya sudah tertutup kenaifan hakiki sejak hidungnya menghirup udara pertama kali saat menyapa dunia. Ia pun berlari, cuai kesopanan. Menyentuh apa pun saat benda-benda itu seolah memanggilnya mendekat, seraya menggumam, "Wow!" Berkali-kali.
Lilian tidak mempermasalahkannya. Justru ia senang, ada satu bagian rumah ini yang membuat gadis itu gembira. Lilian tahu, dapur akan memberi rasa betah, mengingat Ica suka sekali memasak.
"Kalau begitu kita mulai memasak, ya?"
Karena terlalu bersemangat, Lilian khawatir leher Ica patah saat gadis itu mengangguk kencang. Namun ia bersyukur itu tidak terjadi.
***
"Ma, masak apa?"
Ica membeku. Sup yang akan ia pindahkan ke mangkuk kaca berhenti di tengah jalan. Demi menatap seorang cowok berperawakan tinggi dengan rambut acak-acakan muncul menyambangi kulkas. Netra jernih Ica mengamati, bagaimana cowok itu membuka pintu dan mengambil sebotol air dingin.
"Mama kenapa nggak jawab?"
Cowok itu meneguk botolnya langsung. Karena pertanyaannya tak kunjung mendapatkan respons, cowok itu perlu memutar kepala. Namun ketika yang dia sadari bukan mamanya, ia terbatuk keras. Air minumnya muncrat membasahi lantai hingga kaus abu-abunya.
Ia perlu berpegangan pada dinding kulkas dan memukul keras dadanya. Bermaksud meredakan batuk.
Untuk sepersekon Ica sadar bahwa cowok itu tak baik-baik saja. Ia panik mendekati cowok itu, membantu memukul punggungnya.
"Hua! Gara! Kenapa tidak pernah cerita kalau Gara punya penyakit paru-paru basah? Jadi Gara menjauhi Ica karena Gara tidak mau Ica tahu kalau Gara punya penyakit seserius ini?!"
Gara tak habis pikir. Benar-benar kosong pikirannya. Tak tahu harus bagaimana bereaksi ketika Ica tiba-tiba muncul di depannya. Bagaimana bisa? Selama hampir tiga tahun mengenal Ica, ia tak sekalipun mengajak Ica berkunjung ke rumahnya. Lalu sekarang gadis itu tepat berdiri di depannya. Apakah ia bermimpi?
"Ica ... bagaimana kamu bisa ada di sini?!" tanyanya di sela batuk kronis.
"Gara, bagaimana kamu bisa ada di sini juga?!" Bukannya menjawab, Ica malah membalikkan pertanyaan.
Meredakan gugup dan efek kejut yang tersisa sedikit, Gara bertanya. "Atau demi berbicara padaku, kamu rela datang ke rumahku? Siapa yang memberi alamat rumahku padamu?!"
Ica tidak menjawab. Ia terlalu bingung, bukan karena pertanyaan Gara, melainkan mengapa Gara menatapnya setajam itu.
Tiba-tiba ujung matanya memanas dan sesuatu mendesak ingin tumpah. Tanpa menunggu waktu lama Ica menangis tersedu-sedu. Gara dibuat bingung akhirnya.