BAB 2 | Unfathomable Truth

1.4K 221 8
                                    

Luna mungkin sedang mengalami gangguan pada bagian pendengarannya. Dia baru saja mendengar hal yang mengesalkan. Hanna pasti salah bicara atau memang pendengarannya sedang bermasalah.

"Ayolah Hanna, ayo katakan apa yang ingin kau beritau padaku. Jangan bercanda." Luna terkekeh hambar.

"Yang kukatakan bukan candaan, Luna. Kau akan pindah..." Hanna berhenti, menggelengkan kepala, meralat kata-katanya. "Tidak-tidak. harus. Kau harus pindah sekolah," katanya tegas.

Alis Luna langsung tertekuk dan garis wajahnya berubah. Luna langsung menarik tangannya dari genggaman Hanna. Luna menggeleng. "Aku tahu kepala sekolah marah tentang kerusakan toilet. Tapi masalahnya bahkan tidak besar sehingga dia bisa mengeluarkanku dari sekolah."

Hanna menggeleng. "Tidak Luna, kau tidak dikeluarkan. Aku yang meminta sendiri pada kepala sekolah untuk memindahkanmu," aku Hanna.

Luna tidak bisa menampik keterkejutannya, namun lebih dari itu, kekesalannya. Luna langsung bangkit berdiri dan berjalan mundur menjauh dari Hanna.

"Luna, kita harus pindah."

"Apa yang kau lakukan, Hanna? Aku tidak sedikit pun memiliki niat pindah sekolah," kata Luna, dia masih tidak ingin mengeluarkan kemarahannya. Hanna mungkin saja bisa berubah pikiran jika dia mengatakannya tanpa amarah. "Kau bilang kita akan menetap di London. Tidak akan pindah-pindah lagi. Kau sudah berjanji, Hanna."

Hanna mengangguk, dia merasa bersalah sehingga tidak sanggup menatap Luna lagi. "Aku tahu dan aku minta maaf. Tapi Luna, situasi dan keadaanmu memaksaku melanggar janji yang kubuat. Kita harus pindah secepatnya, tidak ada waktu." Hanna bangkit berdiri dan berusaha meraih Luna, tapi Luna segera menghindar dengan melangkah mundur. Hanna menghela napas pelan. "Kita akan pindah segera setelah surat pindah sekolahmu keluar."

"Terserah. Aku tidak punya kuasa apa pun disini bukan? Apa pun yang kau inginkan. Hanna." Luna berlalu pergi dengan perasaan kecewa.

Hanna memang wali sah-nya setelah ayah Luna meninggal, tapi bukan berarti Hanna boleh mempermainkan hidupnya seperti ini. Mereka selalu pindah hampir dua sampai tiga kali dalam satu tahun. London adalah yang paling lama. Mereka telah tinggal selama satu tahun, Luna berhasil menyelesaikan tahun pertama di satu sekolah. Dia hampir merasakan kehidupan biasa siswa SMA -normal- tidak masalah meski para cewek mengganggunya. Luna memiliki pacar dan teman, orang-orang yang dia pedulikan ada di sini. Jika mereka pindah lagi, maka Luna akan kehilangan.

Begitu lama Luna bergelut dalam kekesalan juga kebingungan atas alasan yang membuat mereka terus berimigrasi. Hanna tidak memiliki masalah dalam pekerjaannya, dan meskipun Luna terkadang membuat masalah di sekolah, itu tidak pernah terlalu besar sehingga patut dijadikan alasan untuk pindah. Luna tidak pernah bertanya karena Hanna tidak akan pernah menjawabnya dan Luna tidak pernah mendesak karena Hanna membebaskannya melakukan apa pun. Tapi kali ini Luna tidak bisa diam saja. Dia muak karena menjadi orang yang tidak tahu apa-apa.

Luna keluar dari kamarnya, dia mencari Hanna dan menemukan sang Bibi tengah duduk di meja makan sembari memegangi kepalanya, nampak sedang banyak pikiran.

Hanna mendongkak begitu menyadari seseorang baru saja duduk di kursi seberang meja. Melihat Luna duduk tepat di depan menatapnya.

"Kau bilang kau akan mengatakan sesuatu padaku. Apa itu? Dan kali ini bisakah kau memberitahuku alasan kenapa kita terus tinggal di tempat yang berbeda-beda?"

The Frost Souls ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang