Kesadaran Luna perlahan kembali. Kelopak matanya bergerak-gerak, dengan perlahan terbuka. Bulan yang bersinar terang di langit malam adalah hal yang pertama kali ditangkap retina matanya. Luna berdehem dan menelan ludah, lehernya masih sedikit terasa sesak akibat dicekik oleh element angin entah milik siapa.
Luna ingin menggerakan tubuhnya ketika sadar bahwa tubuhnya dalam keadaan melayang di atas permukaan tanah. Mata Luna seketika membelakak lebar ketika melihat beberapa orang berjubah hitan berdiri mengitari tubuhnya yang melayang rendah.
Sebuah kucing melompat dan seketika berubah menjadi seorang wanita dewasa. Rambutnya berwarna kecoklatan dengan manik mata berwarna karamelnya memperhatikan Luna.
Luna mengenal wajah itu, wajah yang selalu dia rindukan. Wajah ibunya, tapi Luna tau bahwa wanita yang sedang berada di sini bersamanya sekarang bukan lah Larissa Navier yang sebenarnya.
"Jangan gunakan wajah ibu ku, sialan!" Luna memaki keras, menatap Tajam wanita itu yang meresponnya dengan seringaian nakal.
Nakomata terkekeh pelan, lalu dalam sekejap, tubuhnya kembali dalam wujud kucing hitam dan melompat menjauh dari Luna.
Luna memindai keadaan sekitarnya, memperhatikan setiap wajah dibalik tudung hitam itu, hanya wajah-wajah asing yang tidak bisa ia kenali, sampai kemudian fokusnya jatuh pada orang terakhir yang ia lihat. Keningnya mengeryit dalam, jelas mengenali siapa orang itu.
"Zean?"
Apa yang Zean lakukan di tempat ini bersama para pengikut Morana. Seketika ingatan tentang kejadian sebelumnya, saat Luna di cekik dan di seret ke tempat ini secara paksa. Zean ada di sana dan Luna berusaha meminta bantuan dari pemuda itu, namun Zean hanya diam tak bergeming, lalu sorot mata dan ekspresi wajahnya yang begitu dingin dan datar.
"Zean!" Luna memekik, jelas mulai ketakutan. Ia takut dengan pikirannya sendiri. Gagas buruk mengenai sosok Zean Valture yang sebenarnya. Tidak mungkin Zean menipunya. Pemuda itu selalu ada setiap kali Luna dalam bahaya. Saat Luna dikuntiti seseorang di koridor, dan saat malam pesta dansa di sekolah, Zean adalah orang yang melindunginya. Jadi tidak mungkin kan?
"Tidak, itu pasti Nakomata lagi. Dia mengejeku." Luna bergumam, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Tapi kemudian suara nyaring terdengar.
"Hei! Fletcher!"
Luna menoleh, mendapati Joy berdiri di sisi berlawanan dari Zean. Gadis itu tergelak, mengejek Luna.
"Kau mengira dia adalah aku, ya?" Ucap Nakomata. Menunjuk Zean lalu dirinya sendiri, lalu kemudian tertawa lagi seakan ucapan itu adalah lelucon paling lucu baginya.
Keniningnya mengeryit semakin dalam, wajahnya tiba-tiba saja mengeruh. Luna tidak ingin mempercayainya, tapi apa yang sedang ia lihat saat ini adalah nyata dan fakta itu sukses melukainya.
Zean adalah salah satu dari mereka, para pengikut Morana.
Dan entah untuk keberapa kali lagi Luna harus tertipu oleh orang-orang ini. Setelah apa yang terjadi pada Joy, apakah Zean juga harus menambah penderitaannya.
Luna menatap pemuda itu berdiri di sana. Diam dan tidak membalas tatapannya. Ekspresi wajahnya datar. Luna mengulum bibirnya, ia benar-benar tak menyangka.
Jika Zean menipunya, lalu apakah ungkapan perasaan yang pemuda itu lakukan padanya sebelumnya juga hanya rencananya untuk menipu Luna? Jika iya, Zean berhasil.
Perhatian semua orang termasuk Luna, seketika teralihkan saat suara teriakan keras terdengar. Pekikan Anne Raffles terasa menyayat. Wanita tua itu berteriak kesakitan, Luna bisa melihat sosoknya berada tak jauh dari tempat Luna berada, dalam kondisi yang sama, melayang rendah di atas permukaan tanah.
Di bawah tubuh melayang Anne, Luna bisa melihat sebuah gambar abstrak yang kemudian mengeluarkan cahaya berwarna keunguan dari setiap garisnnya. Seorang wanita berjubah merah berdiri di atas kepala Anne yang terbaring. Tangan wanita itu menekan kedua sisi kepala Anne Raffles seolah sedang berusaha membaca isi pikiran sang wanita tua.
"Lihat? Keren, kan?"
Luna lansung memalingkan wajah ke arah berlawanan saat suara seseorang terdengar begitu dekat. Ia terkejut saat melihat wajah Joy tengah tersenyum lebar padanya. Tapi kemudian sadar bahwa itu adalah Nakomata, lagi.
Luna mendengkus, memutar bola mata jengkel. Sementara Nakomata tergelak "apa kau mengharapkan temanmu yang sudah mati? Oh, aku salah. Itu teman yang tidak mengenal siapa kau," kata gadis jadi-jadian itu.
"Sebentar lagi yang akan berada dalam kondisi seperti itu adalah kau." Nakomata menyeringai.
Luna berdecih. Sungguh, ia ingin menutup telinganya sekarang agar bisa menghindari ocehan kucing cerewet ini, tapi tangan dan seluruh bagian tubuhnya terasa kaku dan sulit digerakan.
"Bisakah kau tidak memakai wajah itu? Tunjukan wajah aslimu, sialan!"
"Aku tidak tau kalau Luna Fletcher yang anggun bisa mengumpat juga. Tapi bagaimana, ya. Aku suka dengan wajah ini," ucap Nakomata, sengaja membuat Luna kesal.
Dan Luna benar-benar merasa kesal. Ia marah sebab Nakomta selalu membuat ekspresi mengerikan menggunakan wajah Joy.
"Jangan menganggunya, cat."
Perhatian kedua gadis itu teralihkan saat seseroang menegur Nakomata. Zean mentap dengan sorot matanya yang tajam dan mengintimidasi. Tapi Nakomata sama sekali tidak terpengaruh, sebaliknya dia malah tertawa.
"Sedang membela pacarmu, eh? Oh, aku lupa. Kalian, kan belum jadian."
Luna menahan geram, kucing sialan ini benar-benar punya bakat membuat orang lain marah. Luna lalu melihat ke arah Zean, tapi pemuda itu lagi-lagi menghindari tatapannya. Luna berdecih. Memang apa yang ia harapkan dari antek Blackton sepertinya.
Zean menipunya, dan Luna sudah cukup marah dengan fakta itu. Tapi mendengar Zean membelanya dari kucing sialan itu, membangun harapan Luna lagi. Tapi, sekali lagi harapan itu di patahkan oleh orang yang sama.
"Menjauhlah darinya, cat dia sedang dalam proses persiapan sebelum Blackton menyerap elementnya," ucap Zean selanjutnya.
Luna memutar bola mata malas. Seharusnya ia tidak berharap. Memang apa yang bisa ia harapkan dari antek Blackton?
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
The Frost Souls ✓
Fantasy[The Elemental Trilogy | Book 1] Pada dasarnya, orang-orang dengan zodiak aktif hanya mampu mengendalikan satu dari empat elemen klasik. Api, tanah, udara dan air. Namun ada dari mereka yang memiliki dua elemen sekaligus. Mereka menyebutnya elemen...