Beberapa hari ini, burung kedasih hitam itu selalu datang dan hinggap di jendela kamar Luna. Diam di sana cukup lama tanpa melakukan apa-apa, kemudian terbang pergi dan esok malam kembali lagi dan melakukan rutinitas yang sama.
Entah apa maksudnya, Luna tak paham. Beberapa pikiran buruk sempat muncul di pikirannya mengenai burung tersebut dikirim oleh pihak musuh untuk memata-matai Luna, namun hingga beberapa hari berlalu, tidak ada satu-pun hal buruk yang menimpanya. Jadi, Luna membiarkan burung itu berada di sana, tanpa mencoba mengusiknya lagi.
Malam ini burung kedasih itu datang lagi, namun dia tidak sendiri. Selang beberapa menit, kucing hitam yang pernah mengusiknya di sekolah, juga datang.
Kucing itu melompat masuk melalui jendela kamarnya, sama tak masuk akalnya karena kamar Luna berada di lantai dua. Kucing itu menggeram, bulu-bulu hitamnya berdiri dan cakarnya yang tersembunyi memanjang tajam, bola matanya menghitam pekat tak kalah netra itu melihat burung kedasih yang hinggap di jendela kamar Luna.
Burung kedasih hitam itu mengepakan sayap dan mengeluarkan bunyi berisik. Kedua kakinya terangkat sejengkal dari jendela, sayapnya makin kuat di kepak, namun burung itu tak lantas pergi dari sana. Seolah menerima tantangan dari kucing hitam itu.
Luna yang sedang memainkan ponsel di atas tempat tidurnya, merasa terusik hingga menghentikan aktivitasnya. Ia turun dari ranjang, hendak mengusir dua penganggu yang mengusik ketenangannya. Padahal jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Namun, belum sempat Luna mengusir mereka, kucing itu sudah melompat menyerang burung itu lebih dulu.
Burung kedasih itu terbang menghindar, tapi kucing itu kembali melompat keluar jendela. Luna membelakakan matanya panik, dengan cepat menghampiri jendela dan melonggokkan kepala mengintip ke bawah.
Di bawah sana, kucing dan burung itu mulai saling menjerang. Luna menonton dari atas kamarnya dengan cemas, melihat beberapa bunga yang di rawat bibi Hanna rusak karena ulah mereka.
Burung itu mengepakan sayap sambil menyerang kucing tersebut dengan kedua cakar di kakinya, namun kucing itu lebih cepat, mencakar sayap burung tersebut dan membuatnya jatuh tak berdaya.
Kucing itu menggeram, kepalanya bergerak menoleh melihat Luna. Luna membelakak, merasa terintimidasi. Ia mengerjap, melihat kucing itu melompat pergi dan kemudian menghilang.
Pandangan Luna kembali beralih, melihat burung kedasih tadi yang terkapar di atas halaman dan kesakitan. Luna menghela nafas cemas, segera keluar dari kamar dan buru-buru turun untuk menolong burung itu.
"Oh ya ampun."
Luna segera mengangkat burung itu dengan kedua tangannya, kemudian membawanya ke dalam kamar untuk diobati.
Luna menaruhnya di lantai sejenak, ia mengambil obat dan kembali lagi menghampiri burung kedasih hitam itu. Namun, baru saja Luna hendak menyentuh luka di sayapnya, burung itu tiba-tiba saja mengejang, membuat Luna membelakakan mata takut dan merengsek menjauh.
Matanya masih tertuju pada burung kedasih tersebut yang masih kejang tak jelas, sampai kemudian mata Luna makin membelakak lebar tak kalah burung itu tiba-tiba saja berubah menjadi seorang pemuda.
Mulut Luna terbuka, gadis itu menganga, mendapati sosok familiar.
"Zean?"
Zean melirik sekilas, kemudian meringis kesakitan. Luna mengerjap, melihat pemuda itu memegangi tangan kanannya yang terluka. Dia akhirnya tersadar, mengesampingkan rasa penasarannya sejenak untuk mengobati lengan Zean terlebih dahulu.
"Ayo, biar kubantu." Luna membantu Zean berdiri, kemudian mendudukkan pemuda itu di tepi tempat tidurnya.
"Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan? Menguntitku?" Luna mengomel, meski tangannya sibuk mengoleskan obat pada luka Zean.
Zean melirik, memperhatikan wajah Luna. Jarak mereka begitu dekat, nyaris bersentuhan. "Bagaimana jika kubilang bahwa aku sebenarnya menjagamu?"
"Benarkah?" Luna menghentikan aktivitasnya dan menoleh. Ia menatap mata kelam Zean saat pemuda itu juga tengah menatapnya. Tiba-tiba, perkataan Liam di toko buku hari itu melintas di pikirannya. "Untuk apa?" Tanya Luna, dia beralih kembali pada luka Zean.
"Untuk melindungimu dari mereka. Kau tau, orang-orang Lysandra Blackton."
Luna menghela nafas berat. Telah selesai mengobati lengan Zean. Keduanya diam cukup lama, tidak bicara satu sama lain. Luna sibuk dengan pikirannya sedangkan Zean sibuk menebak isi pikiran Luna saat ini.
Sampai beberapa saat kemudian, Luna mendongkak, menatap tepat manik kelam Zean "aku mendengar tentang yang lain, seseorang yang lebih berbahaya dari Lysandra Blackton. Apa kau tau sesuatu tentang orang itu?"
Alis Zean mengerut, agak terkejut atas pertanyaan tidak terduga dari Luna. Seseorang sudah memberitahunya banyak hal "para elementis tau siapa dia. Apa yang telah dia lakukan menjadi bagian dari sejarah za elementis, tapi kejahatan yang dilakukannya terlalu rumit juga mengerikan, maka dari itu tidak ada yang menuliskannya dalam buku sejarah manapun."
"Bibiku memberitahu tentangnya, tapi tampaknya dia enggan menyebutkan nama orang itu."
"Karena memang seharusnya begitu," balas Zean.
"Kenapa?" Tanya Luna, alisnya berkerut bingung.
"Karna dia sudah lama mati, cerita tentangnya hanya menjadi sepenggal cerita hantu yang sering orang tua ceritakan pada anak-anak."
"Apa memang seperti itu? Maksudku, kau sepertinya tau banyak, lebih dari sekedar cerita hantu." Luna menatap penuh selidik. Tatapan mendesaknya agak menekan Zean. Tapi Zean diam, enggan menjawab pertanyaan dari Luna. Sehingga untuk sejenak pula, hening itu melingkupi keduanya.
"Kau tidak mau menjawabnya?" Luna menutup kota p3k.
Gadis itu lantas menatap Zean, keningnya berkerut semar menunggu pengakuan dari pemuda yang duduk tepat disampingnya.
"Jika aku menjawab, apa kau akan percaya?"
Luna kini mengernyitkan alisnya, tak paham dengan ucapan pemuda itu, kenapa dia justru bertanya "apa dia masih hidup?"
Udara disekitar mereka tiba-tiba terasa lebih dingin.Melihat Zean yang diam tanpa membalas ucapannya, Luna menghela nafas berat.
"Terima kasih karena sudah mengobati luka ku. Selamat malam Luna Flatcher."
Dalam sekejap, Zean kembali berubah dalam wujud burung kedasih dan terbang keluar dari kamar Luna melalui jendela. Pergi begitu saja meninggalkan kegundahan dalam hati Luna. Zean pasti tau banyak, tapi mengapa pemuda itu tidak ingin memberitahunya?
To Be Continued

KAMU SEDANG MEMBACA
The Frost Souls ✓
Fantasía[The Elemental Trilogy | Book 1] Pada dasarnya, orang-orang dengan zodiak aktif hanya mampu mengendalikan satu dari empat elemen klasik. Api, tanah, udara dan air. Namun ada dari mereka yang memiliki dua elemen sekaligus. Mereka menyebutnya elemen...