BAB 20 | Greenhouse

649 120 4
                                    

"Hei! Kau sekelompok dengan Zean Valture?"

Luna menoleh cepat dengan ekspresi terkejut. "Apa orang itu Zean Valture?" Tanya Luna, tapi Janessa justru membalas dengan hal lain.

"Kenapa kau tidak datang padaku dan membiarkan Haden semeja dengannya, ya ampun Luna, pria itu buruk," ucap Janessa, khawatir pada sahabatnya.

Tapi Luna masih tidak mengerti, kenapa sikap Janessa sebegininya terhadap Zean Valture.

"Aku hampir terlambat dan Profesor datang sebelum aku bahkan sempat menyapamu." Luna memberitahu. Janessa membuang nafas berat.

"Ya sudah." Janessa bergumam pasrah.
"Pokonya kau harus hati-hati, katakan padaku jika pria itu berbuat macam-macam terhadapmu," ucap Janessa berpesan.

Luna hanya mengangguk patuh dengan pasrah. Kedua gadis itu kemudian keluar dari kelas bersama dan menuju kelas selanjutnya.

Zean Valture, apa yang telah dilakukan pemuda itu hingga Janessa begitu keras terhadapnya. Waktu itu, saat Luna menanyakan tentang Zean Valture, Luna memang sudah merasa ada yang aneh dengan sikap Janessa, tapi melihat sikapnya saat berada di tempat yang sama membuat Luna justru semakin dibuat penasaran.

Luna mendongkak, menatap lurus ke depan. Mengamati punggung tegap itu bergerak menjauh sendirian, menyusuri koridor sekolah yang ramai oleh murid-murid. Menyadari bahwa setiap kali Luna bertemu dengannya, pemuda itu selalu sendirian. Luna pikir, karena dia memang tipe orang yang menyukai kesendirian, tapi melihat langsung apa yang ada didepannya saat ini. Luna merasa, bukan Zean yang menjauh dari orang-orang, melainkan orang-oranglah yang menjauh darinya.

___

Pukul satu siang. Luna segera membereskan peralatan belajarnya dan pamit pada teman-temannya yang siang itu menyempatkan diri duduk di ruang belajar.

Ujian kenaikan kelas akan segera tiba tak lama lagi dan itu membuat seluruh siswa mulai disibukkan dengan segala materi pelajaran. Terbukti dari banyaknya siswa dari berbagai asrama yang kini memenuhi ruang belajar sekolah yang luas.

"Ingat pesanku!" Janessa berseru ketika Luna sampai di ambang pintu keluar, membuat gadis dengan iris kelabu itu berhenti dan berbalik hanya untuk mengangguk.

Janessa masih tak terima dan tak menyukai partner Luna, karena itu, gadis pirang keemasan itu bahkan masih mewanti-wantinya bahkan ketika kelas siang hari ini berakhir.

Luna segera menuju greenhouse yang terletak di samping bagian belakang sekolah. Greenhouse miliki sekolah berukuran cukup besar dengan atap rendah. Dinding dan atapnya benar-benar terbuat dari kaca seutuhnya dengan sentuhan kerangka yang terbuat dari logam murni. Itu membuat warna hijau dari tanaman-tanaman yang berada di dalamnya terlihat sangat jelas dan nampak cantik. Luna bahkan bisa melihat sosok Zean berdiri sendirian di dalam sana, terlihat sedang mengisi tanah ke dalam pot yang akan mereka gunakan sebagai wadah tanaman Coleus amboinicus.

Luna mengulum bibirnya, segera berjalan mendekat.

"Kenapa sekolah menerima orang seperti dia. Benar-benar tak bisa di maafkan."

"Orang tuanya adalah pembunuh, kepala sekolah pasti sudah gila."

Jantung Luna seketika berdegup cukup keras, terkejut akan apa yang di katakan anak-anak yang baru saja berjalan keluar dari greenhouse.

Pembunuh? Orang tua Zean Valture? Benarkah?

Luna masih berusaha memproses kalimat itu. Langkahnya tertahan di ambang pintu, menatap sosok Zean yang masih belum menyadari kehadirannya. Pemuda itu, apa dia tak mendengarnya? Murid-murid itu berbicara dengan suara yang cukup keras untuk bisa di dengar dalam jarak yang cukup jauh, benar-benar seperti memang berniat untuk menyindir.

Ia masih bertahan di sana, begitu lama bahkan ketika Zean telah selesai memenuhi pot dengan tanah.
Pemuda itu berbalik dan tak menunjukkan reaksi terkejut sedikit pun saat menemukan Luna di sana, memandangnya dalam hening dan dengan tatapan yang bahkan Luna sendiri tak sadar kalau dia sedang menatap Zean dengan tatapan yang sama seperti yang orang-orang tunjukan. Begitu menuntut, menghakimi dan penuh hasrat, seolah menekannya untuk mengakui kesalahan yang telah orang tuanya perbuat.

Hening itu berlangsung cukup lama, dengan mata keduanya yang masih dalam satu garis lurus yang sama. Iris kelabu dan sorot mata segelap malam itu bertemu, namun tatapan Zean begitu kosong dan hampa, begitu dingin dan sulit untuk diterjemahkan.

"Hei! Jangan lakukan itu!"

Suara itu seperti baru saja berteriak di dekat telinganya, seolah menyadarkan Luna dari kebekuan yang sempat tercipta, menariknya kembali ke dasar kesadaran. Ia mengerjap, memandang dua murid lain baru saja masuk ke dalam rumah kaca dan terlihat bertengkar kecil. Gadis itu lantas berdehem, menarik nafas pelan dan melangkah mendekati Zean.

"Apa pot nya sudah di isi?" Tanya Luna, hanya sekedar basa-basi untuk menghilangkan kecanggungan.

"Yah."

"Di mana bibit tanam itu?"  Tanya Zean. Pemuda itu menengadahkan tangannya meminta bibit Coleus amboinicus yang memang di simpan oleh Luna.

"Ah ya...ini." Luna memberikan dua bibit tanaman itu, meletakannya di atas tangan Zean yang sekilas terasa hangat. Ia dengan cepat kembali menarik tangannya saat sadar.

Pemuda itu menggeser pot lebih jauh agar lebih aman dan tak gampang jatuh bila mana seseorang tak sengaja menyenggolnya.

"Besok datanglah kesini untuk menyemprotkan air, aku akan datang di hari setelahnya. Jangan lupa juga untuk mengamati pertumbuhannya agar kita bisa membuat catatan." Zean memberi tahu dengan suara tenangnya yang khas. Luna mengangguk mengerti.

"Zean" Panggil Luna tanpa sadar, menarik perhatian sang pemilik nama.

"Ada apa?" Tanya Zean.

Luna mengejrap, menjadi sangat kikuk untuk beberapa saat. Dia kemudian terkekeh canggung. "Kita sudah bertemu beberapa kali sebelumnya, tapi aku baru tau namamu hari ini" Zean mengangguk, tersenyum tipis sebagai tanggapan.

"Kalau begitu, mau berkenalan secara resmi?" Zean mengulurkan tangan. Luna terpaku sejenak sebelum tersenyum dan membalas. Kini merasa lebih legah.

"Zean Valture."

"Luna Fletcher."

"Aku tau," tanggap Zean. Luna melotot kecil. Zean terkekeh pelan.

"Pengguna elemen ganda bukan?" Kata Zean.

Luna menghela nafas pelan, mengangguk santai. "Sepertinya pengguna elemen ganda benar-benar sangat populer ya."

"Begitulah."

"Omong-omong, apa kau tidak dengar apa yang dibicarakan orang-orang tadi?" Tanya Luna skeptis. Melihat pada Zean dengan wajahnya yang mengeruh.

"Memang apa yang mereka katakan?" Tanyanya. Membuat Luna terpaku. Apa Zean sunguh tidak mendengar apa yang dikatakan orang-orang tentangnya. Itu mustahil karen bahkan Luna yang berada dijarak yang lebih jauh bisa mendengar jelas, apalagi Zean yang tepat berada di sana.

Namun Zean sepertinya bukan tidak mendengar, dia hanya tidak peduli.

To Be Continued

To Be Continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Frost Souls ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang