BAB 34 | City of Elementists

543 109 11
                                    

Pagi itu, Luna melihat Hanna mencak-mencak di halaman depan. Wanita berusia akhir 30-an itu kesal saat mendapati beberapa bunga yang dirawatnya rusak.

Luna duduk di teras, menyandarkan punggungnya ke tiang rumah. Duduk termenung di sana. Pertemuannya dan Zean semalam masih mengusik pikiran Luna. Pemuda itu benar-benar membuatnya gundah hari ini.

Cukup lama Luna duduk di sana tanpa melakukan apa-apa, wajahnya lesu, memperhatikan jalanan kota yang lenggang. Sampai kemudian matanya menangkap presensi seorang gadis berambut pirang keemasan berjalan sendirian di trotoar seberang jalan. Mata Luna sontak membelakak saat mengenali bahwa gadis itu adalah Janessa.

Dengan cepat, Luna bangkit berdiri dan segera berlari menyusul Janessa yang masih tidak sadar akan keberadaannya.

"Kau mau pergi ke mana!!" Teriak Hanna, begitu melihat keponakannya tiba-tiba bersemangat dan berlari keluar halaman.

"Jalan-jalan sebentar!!"

Luna mengukir senyuman terbaiknya, sebelum memanggil Janessa dan menyapanya.

"Jane!"

Merasa ada yang memanggil namanya, Janessa menghentikan langkah dan berbalik. Bertapa terkejutnya ia saat mengetahui bahwa Luna lah yang baru saja memanggilnya.

"Hai," sapa Luna, tersenyum padanya.
Janessa menipiskan bibir, tersenyum canggung membalas sapaan Luna.

Luna tersenyum makin lebar, senang karena Janessa membalas sapaannya. Ia lantas menyelaraskan langkah berjalan bersama Janessa yang entah akan pergi ke mana.

"Aku baru tahu kalau kau tinggal di kota ini juga," ujar Luna, memulai obrolan.

Janessa melirik, mengangguk kecil namun tidak menjawab. Membuat Luna menghela nafas kecewa, namun ia tidak menyerah. Hanya Janessa satu-satunya teman yang Luna punya, setelah mengetahui fakta tentang Joy yang hanya memanfaatkannya.

"Kau akan pergi ke mana?" Tanya Luna.

"Toko bunga," jawab Janessa akhirnya membalas. Luna tersenyum mulai antusias.
Janessa masuk ke dalam toko bunga milik Ms. Merry- seorang wanita berusia akhir 30-an yang saat itu tengah menyiram tanaman di depan tokonya.

"Ingin beli bunga apa?" Tanya Ms. Merry, tersenyum ramah menyambut pelanggan pagi itu. Sekilas juga menyapa Luna yang dibalasnya dengan senyuman sopan.

"Lily, please." Janessa mengulurkan sejumlah uang yang di terima Ms. Merry dengan senang hati. Wanita itu lantas pergi mengambil bunga lily pesanan Janessa, membungkusnya dengan cantik sebelum memberikannya pada Janessa.

"Untuk apa bunga itu?" Tanya Luna setelah mereka pergi dari toko bunga. Janessa melanjutkan langkah, dan Luna tidak tahu akan ke mana tujuan gadis itu selanjutnya.
Selang beberapa menit, Janessa tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berbalik. Gadis itu mengulum bibirnya menggeram "apa kau akan terus mengikutiku seperti ini? Luna?"

"Aku hanya ingin bilang padamu, kalau jika kau takut padaku...."

"Yah, aku takut." Janessa menarik nafas dalam dan menghembuskannya tajam.

"Aku takut kalau saja kau..." ia menelan ludah susah payah, tenggorokannya tercekat "malam itu, aku melihatmu, Luna..."

"Yah, mereka semua melihatku." Luna menunduk, benar-benar merasa menyesal.

Janessa mengulum bibirnya, menatap Luna yang benar-benar tampak menyesali perbuatannya, meski saat itu pun Luna tidak sadar saat melakukan perbuatan keji itu. Tidak ada yang terluka, hanya orge itu. Luna menyelamatkan mereka, tapi cara yang Luna lakukan membuatnya di pandang sebagai monster.

Janessa meraih bahu Luna, membuat gadis dengan netra kelabu itu mendongkak dan membalas tatapannya. Janessa mengukir senyum tipis "malam itu aku melihatmu, dan aku takut. Aku takut bila saja kau akan melukai dirimu sendiri dan tidak akan selamat."

Senyum Luna perlahan terukir, ia tersenyum lebar. Dalam sekejap, ia merengkuh tubuh Janessa dan memeluk sahabatnya itu erat.

"Emm, bisa kau lepaskan pelukan ini? Aku harus mengunjungi makam orang tuaku."

"Oh, maaf."

Luna terkekeh pelan, melepas pelukannya. "Jadi..." Luna melirik pada bunga lily yang sebelumnya dibeli Janessa "itu untuk ibu, mu?"

Janessa mengangguk. Keduanya melanjutkan langkah menuju pemakaman umum kota.

"Kau belum jawab pertanyaanku," ujar Luna. Janessa menoleh dengan kening mengernyit, sesaat tak paham dengan maksud Luna, tapi kemudian Janessa terkekeh saat ingat topik pertama Luna.

"Aku memang tinggal di kota ini, sudah sangat lama. Kau mungkin belum tahu kalau banyak Elementis yang tinggal di kota ini. Ada yang sudah tinggal lama dan ada yang baru pindah, seperti kau."

"Kalau tidak salah, rumah tempat kau tinggal sekarang, dahulunya adalah rumah keluarga Navier."

Luna tersenyum tipis, mengangguk-anggukan kepala "sejujurnya, itu rumah milik keluarga ibuku," aku Luna.

Janessa tiba-tiba saja menghentikan langkahnya, membalikkan badan menghadap Luna. Wajahnya memasang ekspresi terkejut "kau, keturunan Navier?" Tanya Janessa dan Luna membalasnya dengan anggukan.

"Oh ya ampun." Janessa menutup mulutnya tak percaya.

Perhatian kedua gadis remaja itu teralihkan saat ponsel di saku celana Janessa berdering, menandakan panggilan masuk. Janessa meminta izin untuk menjawab telepon sejenak dan Luna mengangguk.

Luna memperhatikan Janessa yang sedang bicara dengan seseorang lewat telefon. Dari sapaan pertamanya, Luna dengan mudah menebak kalau si menelefon adalah Haden. Tampang Janessa awalnya biasa saja, tapi kemudian dian berubah, seperti ekspresi yang sering ia tunjukan jika sedang berhadapan dengan pemuda Gilldorey itu, namun seketika raut wajah Janessa berubah begitu saja. Gadis itu tampak terkejut dengan kedua matanya yang membelakak lebar.

"Ada apa?" Tanya Luna penasaran.
Janessa menurunkan ponselnya dari samping telinga. Gadis itu diam lama, ekspresinya menunjukkan seolah tak ingin mempercayai apa yang baru saja Haden beritahukan.

Luna memegang bahu Janessa, bertanya sekali lagi "Janessa?"

Kepala Janessa perlahan bergerak, gadis itu menoleh dan memandang Luna. Ekspresi sedih dan berduka tergambar jelas di permukaan wajah cantiknya.

Luna semakin cemas dan mengira-ngira apa yang terjadi sampai Janessa akhirnya memberi tahu Luna sesuatu yang sukses mengguncang emosinya.

"Mereka menemukan mayat Joy di hutan."

To Be Continued

The Frost Souls ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang