Luna dan Janessa langsung menemui Haden setelah mendapat kabar mengenai jasad Joy dari pemuda itu.
Mereka tak sempat melihat sendiri karena polisi sudah terlebih dahulu membawanya.
Katanya, mayat Joy di temukan oleh dua orang pria yang saat itu tengah berkemah di hutan."Itu benar-benar Joy?" Tanya Luna. Ia masih sulit mempercayainya. Baru beberapa hari lalu Luna melihat gadis itu baik-baik saja, tapi hari ini secara mengejutkan, seseorang menemukan mayatnya. Meski Luna belum yakin kalau jasad itu benar-benar Joyceline Scott yang ia kenal.
Haden mengangguk meyakinkan. Pemuda itu mengambil ponselnya dan mengotak-atiknya sejenak, mencari sesuatu. Tak lama kemudian, ia memperlihatkan sebuah foto pada Luna dan Janessa.
Kedua gadis itu sukses di buat mengaga lebar dan tak berkutik. Itu adalah foto jasad yang di temukan di hutan, dan meski wajahnya sudah membiru, mereka masih bisa mengenali dengan jelas kalau itu memang Joy.
"Kebetulan temanku sempat pergi melihat, aku tidak asing dengan namanya, tapi kemudian ingat gadis Airventus teman kalian." Haden kembali menyimpan ponselnya, membuat Luna dan Janessa menarik diri kembali duduk tegak.
"Aku bahkan tidak sempat saling menyapa saat akan pulang seminggu lalu." Janessa menghela nafas berat. Merasa sedih karena kehilangan salah satu sahabatnya.
Luna menggigit bibirnya, melirik Janessa. Gadis itu mengulum bibir, sejenak mempertimbangkan apakah ia harus memberi tahu Janessa tentang apa yang Luna lihat saat berada di rumah keluarga Evergreen beberapa hari lalu.
"Jane, ada yang ingin aku beritahukan padamu."
Janessa menoleh, gadis itu mengangkat alis penasaran. Haden yang juga berada di sana bersama mereka, lantas ikut menoleh dan tampak ingin mendengarkan juga.
Luna menghela nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia menelan ludah, meyakinkan diri sejenak karena masih syhok akan kepergian Joy.
"Beberapa minggu lalu, aku pergi ke rumah keluarga Evergreen..." belum sempat Luna menyelesaikan ucapannya, Haden sudah terlebih dahulu berseru.
"Kau pergi ke rumah Evergreen? Mau ngapain?" Tanya pemuda itu. Tampaknya sekarang lebih penasaran dengan hal itu.
Janessa mendesis jengkel."diamlah, idiot. Biarkan Luna menyelesaikan ucapannya," katanya memarahi. Haden menoleh pada Luna, nyengir lebar dan membungkam mulutnya, lantas memberikan isyarat pada Luna untuk melanjutkan ucapannya.
Luna menghela nafas, memulai lagi "saat aku berada di rumah itu, aku melihat Joy datang bersama seorang pria. Pria itu memakai jubah yang sama seperti yang di kenakan dua pria yang pernah mengacau di sekolah tempo hari."
Kening Janessa mengernyit, mulai merasa tak enak dengan arah cerita Luna.
"Mereka tampaknya sedang mencari sesuatu tapi ternyata benda itu tidak ada di sana. Saat itu aku mendengar Joy mengaku bahwa orang yang mengacak-acak kamar asramaku adalah dia." Luna mengulum bibirnya, menatap antara Janessa dan Haden untuk melihat reaksi mereka."Jadi maksudmu, selama ini Joy berada di sisi musuh dan berusaha menjebak kita? Apa yang di cari darimu?" Tanya Janessa. Ini adalah hal yang mengejutkan. Dalam sehari ia dikejutkan dengan dua fakta yang benar-benar tak pernah ia kira sebelumnya.
"Benda yang sama yang dia dan pria itu cari. Aku tidak tahu benda seperti apa, tapi tampaknya mereka benar-benar menginginkannya."
"Tapi tunggu, untuk apa kau datang ke rumah keluarga Evergreen?" Tanya Janessa. Haden mengangguk, ingin mendengarkan alasannya juga.
"Aku mendengar dari bibi Hanna kalau Asteria Evergreen juga memiliki evolusi elemen yang sama denganku, jadi aku hendak mencari beberapa hal di rumah keluarganya untuk membantuku belajar mengenali elemenku, dan ya, mengendalikannya."
Janessa menghembuskan nafas kasar, gadis itu mengusap wajahnya. Terlalu banyak hal mengejutkan hari ini, terlebih fakta tentang Joy membuatnya benar-benar kecewa.
"Kapan kau bertemu Joy?" Haden tiba-tiba bertanya, pemuda itu memasang ekspresi curiga. Merasa ada kejanggalan.
Luna berpikir sejenak "beberapa hari setelah liburan sekolah? Kurasa empat hari yang lalu," jawab Luna.
"Empat hari lalu? Tapi info yang ku dapat, tim forensik yang memeriksa jasad itu mengatakan, kalau jasad itu sudah berada di sana sejak berbulan-bulan yang lalu, bahkan nyaris setahun."
"Nyaris setahun? Kalau begitu siapa yang berada di sekolah bersama kita?" Janessa tiba-tiba mulai merasa merinding. Sementara Luna juga bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Ah, aku merinding," seru Haden. Luna mengeruhkan air mukanya, merasakan hal yang sama.
"Nakomata."
Perhatian ketiga remaja itu teralihkan. Hanna berjalan mendekat dan duduk bergabung bersama mereka di ruang tamu rumah keluarga Navier.
Luna mengerjap "bibi bilang apa tadi?"
"Nakomata, kucing hitam peliharaan Blackton yang bisa berubah wujud sesuai keinginannya. Dia mungkin pelaku yang sudah membunuh teman kalian dan menyamar untuk bisa menyusup ke dalam sekolah."
"Jadi, yang kita kenal selama ini bukanlah Joy, tapi Nakomata?" Ujar Haden. Dia benar-benar tak habis pikir.
Hanna menoleh pada Luna, melihat keponakannya itu kini terdiam kaku, benar-benar syhok "Luna?"
"Aku sudah salah paham, bi. Mengira bahwa Joy menghianati kami, tapi ternyata dia bahkan tidak pernah mengenal kita. Yang selama ini berada di sekolah bukan Joy, melainkan Nakomata."
Janessa menggigit bibirnya, merasakan hal yang sama. Janessa sempat marah karena mengira itu benar-benar Joy. Selama berada di sekolah, gadis itu bersikap biasa, seperti remaja normal pada umumnya. Siapa yang mengira bahwa itu adalah Nakomata, kucing jadi-jadian peliharaan Lysandra Blackton.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
The Frost Souls ✓
Fantasy[The Elemental Trilogy | Book 1] Pada dasarnya, orang-orang dengan zodiak aktif hanya mampu mengendalikan satu dari empat elemen klasik. Api, tanah, udara dan air. Namun ada dari mereka yang memiliki dua elemen sekaligus. Mereka menyebutnya elemen...