Luna masuk ke dalam kamar asrama tepat ketika Janessa keluar dari kamar mandi. Dia sudah mengenakan baju biasa, hoodie dengan celana kain panjang, namun dikepalanya masih mengenakan handuk yang melilit rambutnya yang basah.
Keduanya tidak sengaja saling memandang dan berakhir canggung. Luna masih belum mulai bicara lagi dengan Janessa dan begitu juga Janessa. Tapi kecanggungan ini memuakan, apalagi mereka adalah teman sekamar dan akan sangat tidak nyaman merasa canggung dengan teman sekamar.
Luna menelan ludah, menutup pintu. Dia mengalihkan perhatian dari Janessa dan berjalan menuju meja belajarnya. Bersikap biasa saja seolah tidak saling mengenal. Tapi Janessa yang terlihat tidak senang dan merasa muak dengan kecanggungan, melangkah mendekat dan bicara pada Luna lebih dulu.
"Soal yang kemarin." Janessa tampaknya akan meminta maaf, tapi dari intonasi suaranya yang skeptis, Luna mengira kalimatnya tidak akan mulus atau dengan kata lain, terbata-bata. Jadi Luna mengambil inisiatif untuk bicara menyela Janessa.
Luna berbalik memandang Janessa, mengungkapkan pemikirannya. "Tidak apa-apa. Sikapmu normal bagi seseorang yang ketakutan. Lagi pula, kedatanganku memang bukan hal yang biasa, mengetahui fakta bahwa tidak ada murid pindahan yang diterima di Alter sebelumnya. Dan juga soal Lysandra Blackton."
Janessa menghela nafas berat. "Kita akan jadi teman sekamar sampai lulus nanti, aku tidak ingin merasa tidak nyaman dan canggung dengan teman sekamarku sendiri."
Luna tersenyum tipis, mengangguk setuju. Tapi kemudian senyumnya diganti dengan ekspresi mengeruh. "Apa kau sudah mengatakan soal aku pada murid lain? Soal aku yang dijadikan target Lysandra Blackton?" tanya Luna agak cemas. Jika Janessa memang telah mengatakan soal itu pada murid lain, maka kehidupan sekolah Luna akan semakin tidak karuan.
Janessa mengulum bibir sembari menggeleng. "Tidak perlu cemas, aku tidak mengatakan pada siapa pun dan berniat untuk tetap tidak mengatakan apa pun."
Luna bernafas legah merasa bersyukur. "Syukurlah. Aku sudah jadi pusat perhatian karena memiliki elemen ketiga. Aku tidak mau jadi pusat perhatian karena menjadi orang yang diincar Lysandra Blackton."
Janessa hanya memberi senyum kecil sebagai tanggapan. Dia kemudian berbalik dan pergi menuju lemari, mengambil hairdryer, kemudian duduk di atas ranjang dan mulai mengeringan rambut.
Sementara itu, Luna menarik selembar kertas yang terselip dalam buku sejarah. Kertas yang diberikan Profesor Grint kemarin. Kertas pendaftaran kelas pilihan. Luna menatap kertas itu beberapa saat sampai akhirnya dia berbalik dan memandang Janessa, bertanya pada gadis tersebut.
"Untuk kelas pilihan, kau masuk kelas apa?"
Perhatian Janessa beralih pada Luna. Masih sambil mengeringkan rambut, Janessa menjawab, "aku mengambil dua, rune dan ilmu sihir."
Luna menatap daftar kelas pilihan lagi, menelik sejenak kelas pilihan yang ada.
Janessa memandang kertas ditangan Luna, menyadari asal dari pertanyaan Luna barusan. "Kau belum memutuskan kelas pilihan?"
Luna mengangguk dengan tampang cemberut. "Agak sulit untuk memilih. Di sekolah lama, aku mengambil kelas bahasa Italy, tapi untuk kali ini aku tidak berkeinginan untuk memilih kelas sastra."
Janessa mengangguk memaklumi "tidak masalah," katanya santai. "Apa yang kau sukai? Hobimu?" Janessa menaikan alis, menunggu jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Frost Souls ✓
Fantasi[The Elemental Trilogy | Book 1] Pada dasarnya, orang-orang dengan zodiak aktif hanya mampu mengendalikan satu dari empat elemen klasik. Api, tanah, udara dan air. Namun ada dari mereka yang memiliki dua elemen sekaligus. Mereka menyebutnya elemen...