Tapi, tiba-tiba saja lengan orge yang terbakar, seketika membeku. Membuat kening Zean mengernyit, ia lantas menoleh ke belakang, pada Luna yang kini tubuhnya seakan di selimuti es. Zean jelas kaget, ini pertama kalinya dia melihat Luna seperti ini.
Tubuhnya benar-benar berubah menjadi es sepenuhnya, rambutnya putih panjang sementara matanya menyala-nyala kebiruan. Gadis itu berpijak diatas lantai yang membeku. Mata menyalanya menatap lurus dan dingin ke arah orge.
Tangannya terjulur, seolah tengah mengendalikan sesuatu, beberapa menit kemudian tangan orge yang dia bekukan hancur lebur seperti es yang pecah.
Orge berteriak, meraung kesakitan dan murka. Tangannya buntung mengeluarkan darah busuk yang menyengat. Luna maju perlahan, setiap lantai yang dipijaknya membeku begitu saja. Dia berjalan lurus, mendekati orge tanpa rasa takut seperti sebelumnya.
Beberapa orang yang teralihkan karena suara raungan orge itu menatap dengan terkejut. Wujud Luna sepenuhnya menarik semua perhatian. Bahkan para profesor dan dua pria berjubah hitam itu.
Salah satu dari pria berjubah itu melemparkan serangan kearah Luna, berniat melemparkannya menjauh, namun seolah tahu, Luna lebih dulu membekukan tangan pria itu. Tangan pria itu yang membeku terasa begitu berat, sehingga membuatnya tak sanggup menahan bobot hingga pada akhirnya pria itu terjatuh bersimpul di lantai.
Luna menggerakkan tangannya, kini merubah lengan orge yang satunya menjadi beku, lalu kemudian membuatnya sama hancurnya. Erangan kesakitan itu mengalun, seolah membisikan pada setiap orang yang menyaksikan bertapa menakutkannya sosok berbalut es yang berjalan pelan dalam ruangan itu, membawa hawa dingin yang mengintimidasi semua orang.
Janessa terpaku melihatnya. Sekujur tubuhnya tiba-tiba saja bergetar, ketakutan itu hadir dan membuatnya hilang kata. Ini bukan pertama kalinya Janessa merasakan aura seperti ini dari Luna, tapi dengan melihat wujudnya secara langsung, rasanya lebih menakutkan.
"Berhenti-berhenti. Kumohon!" Batin Luna berteriak, dirinya berusaha mengambil alih gerak tubuhnya lagi. Namun itu terlalu sulit, jiwa itu terlalu kuat.
"Berhenti!!"
"Aaaaa!!!!"
Orang-orang terkejut. Luna tiba-tiba saja berteriak nyaring. Tubuhnya yang membeku jatuh bersimpul dilantai, tangannya memegang kepalanya seolah tengah kesakitan. Lantai yang dipijaknya membeku dan mulai menyebar semakin besar.
Kepala sekolah menatap Luna prihatin. Pria itu lantas maju, menginjak es yang menyebar membekukan hampir seluruh lantai dalam aula. Orang-orang menatap penuh harapan pada laki-laki pemilik hak tertinggi di sekolah itu.
"Nonna Flatcher? Aku tahu kau berada di sana..."
"Pergi!!"
Es tiba-tiba saja merambat, menyelimuti kedua kaki kepala sekolah. Orang-orang memekik cemas, bahkan profesor Grint hampir maju untuk menolong, namun instruksi dari kepala sekolah yang ingin tak ada seorang pun untuk mendekat membuat wanita itu urang. Kini hanya bisa menyaksikan dengan kepanikan yang jelas pada wajahnya.
"Nonna Flatcher, berusahalah mengontrol emosimu, jangan terlalu panik karena itu hanya akan membuatmu merasa semakin sakit. Jiwa yang ada dalam dirimu bisa dikontrol jika kau juga bisa mengimbangi emosimu..." perkataan kepala sekolah terhenti. Pria itu agak diam sambil memejamkan matanya sesaat karena es itu semakin merambat naik hingga ke dengkulnya. "Kontrol emosimu, Nonna Flatcher. Yah, perlahan." seutas senyum tipis terbit di wajah kepala sekolah.
Teriakan Luna mereda, nafasnya dengan perlahan diatur. Es-es yang menyebar di lantai perlahan mencair begitu pula dengan es yang menyelimuti kaki kepala sekolah.
Tubuh Luna yang di selimuti es juga perlahan menghilang, hawa dingin yang sebelumnya terasa mulai lenyap. Luna bernafas kelelahan. Gadis itu memejamkan mata, lalu kemudian membukanya dan melihat keadaan sekitar. Orang-orang menatapinya dengan ekspresi ketakutan yang mendominasi. Pandangannya kemudian berpindah pada Janessa, Luna melihat gadis itu yang juga menampilkan ekspresi serupa.
Luna menelan ludah, mati-matian menahan rasa pusing yang menyerang kepalanya, sampai kemudian dia akhirnya jatuh tak sadarkan diri.
Kepala sekolah dan Profesor Grint segera menghampiri Luna untuk mengecek keadaanya.
"Dia hanya pingsan," kata kepala sekolah. Profesor Grint menghela nafas legah.
Alfred Dalbert lantas melihat keadaan para murid, melihat keadaan yang sudah terkendali, dia juga menghembuskan nafas legah. Pandangannya kemudian tertuju pada Zean yang fokus menatap Luna yang terbaring pingsan.
"Tuan Valture..." Panggil kepala sekolah Dalbert, mengambil alih perhatian Zean "bisakah kau membawa Nonna Fletcher ke uks?"
Zean mengangguk, segera mengendong Luna ala bridal style, membawanya ke uks.
Semua orang melihat kepergian mereka dari aula pesta yang kacau, termasuk Janessa. Gadis itu hanya diam, masi terpaku ditempat dengan keterkejutan yang masih belum mereda.
"Jane..." panggil Haden, menyentuh bahu Janessa, menyadarkan Janessa dari pikirannya "kau baik-baik saja?"
Janessa menipiskan bibir, mengangguk singkat, melihat Haden sejenak sebelum melihat keadaan sekitar yang sangat kacau. Dia menghembuskan nafas berat.
Memperhatikan gadis di sampingnya, Haden melihat kejanggalan "kau tidak menyusul Luna?"
"Apa?" Janessa mengejrap, balik memandang Haden, pura-pura tidak mendengar "kau mengatakan sesuatu?"
Haden menghembuskan nafas berat. Apa Janessa sedang menghindari Luna karena insiden yang baru saja terjadi? Haden juga melihat apa yang terjadi pada Luna dan semua orang melihat apa yang telah gadis tersebut lakukan. Memang mengerikan, tapi berkat Luna, musuh bisa cepat teratasi. Haden mengerti jika Janessa syhok, ini tidak seperti saat pertama kali melihatnya berubah saat duel, kali ini, Luna benar-benar membunuh. Tidak hanya membunuh, tapi juga membinasakan.
"Itu Peter, sepertinya dia terluka, aku akan membantunya." Janessa buru-buru pergi, meninggalkan Haden yang diam memandang sosoknya yang pergi menghampiri Peter.
Perhatian Haden beralih pada suara profesor Grint, melihat wanita tersebut yang tengah bicara dengan kepala sekolah.
"Bagaimana mereka bisa masuk?" Kata Profesor Grint bertanya-tanya "kami telah menutup akses bagi orang luar...apa mereka membuka tabir?"
Kepala sekolah menggeleng, ekspresi wajahnya mengerut serius "jika ya, aku pasti tau."
"Lalu bagaimana bisa mereka masuk?"
"Aku pikir, tabirnya dibuka dari dalam, karena itu tidak ada pemberitahuan apapun yang kuterima."
"Dibuka dari dalam? Apa maksudmu ada seseorang dari pihak mereka telah menyusup ke dalam sekolah? Jika ya, ini bahaya, Alfred."
Ekspresi kepala sekolah semakin tegang dengan alis berkerut dalam "memang sangat bahaya, Mille. Karena jika benar ada seseorang yang menyusup, maka dia sudah melakukannya sejak tahun ajaran dimulai, karena hanya saat itulah tabir dibuka."
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
The Frost Souls ✓
Fantasy[The Elemental Trilogy | Book 1] Pada dasarnya, orang-orang dengan zodiak aktif hanya mampu mengendalikan satu dari empat elemen klasik. Api, tanah, udara dan air. Namun ada dari mereka yang memiliki dua elemen sekaligus. Mereka menyebutnya elemen...