5.6. Inversi

1.3K 428 36
                                    

//CATATAN 01 JANUARI 2021//

Semoga kalian masih pada inget ceritanya. Ini kado kecil dari aku untuk kalian yang lagi liburan tapi gabisa kemana-mana karena covid. Semoga bisa sedikit menghibur.

***

Hari ketiga Awan dirawat di rumah sakit, bersama Mama aku datang menjenguk. Setelah pembicaraan dengan Ivana, aku jadi lebih mengerti apa yang harus kulakukan sekarang.

Sama seperti Tania yang berani memilih sesuatu yang terbaik untuk dirinya, aku memilih untuk kembali memperbaiki apa-apa yang telah kurusak dalam hubungan pertemananku dengan Awan, sebab itu yang terbaik untukku. Menjauh bukan pilihan yang bijak untuk saat ini, lagipula aku tak ingin lagi. Aku mengenalnya jauh sebelum aku mengenal huruf, jadi bagaimana bisa aku tenang jika Awan alpa dalam hari-hariku.

Tidak lari dan lebih jujur dengan perasaan sendiri adalah pilihanku sekarang. Benar kata Ivana, aku terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu kejadian. Perkara patah hati, semua orang merasakannya, dan semua orang tetap baik-baik saja, jadi apa yang harus kutakutkan. Kelak, ketika aku sakit hati, aku hanya harus yakin bahwa aku bisa sembuh.

Aku akan ada di sisi Awan, belajar mengelola perasaan, sampai nanti ketika rasa ini hilang dengan sendirinya, lalu kami menjadi seperti Gelora Awan yang dahulu. Di samping itu, aku akan belajar membuka hati untuk laki-laki lain.

Mama membuka pintu kamar inap Awan dan tampaklah bunda Awan yang seorang diri membaca buku di sofa. Beliau terlihat segar, berbeda dengan dua hari lalu saat Awan belum sadarkan diri, bunda Awan kelihatan kacau sekali.

Bunda Awan menyambut kami dengan semringah dan menyilakan masuk. Di ranjang pasien, Awan telah terbuka matanya menatap aku dan Mama. Tanpa ragu aku menghampirinya, memberi senyuman terbaikku.

"Kamu udah enakan?" tanyaku.

Awan mengangguk. "Ya."

Kelegaan memenuhi dadaku. "Aku bawa cokelat panas kesukaan kamu." Aku mengangkat botol minum di tangan kananku, memperlihatkan pada Awan. "Kamu boleh minum cokelat panas, kan?"

Lagi-lagi Awan mengangguk.

Masih ada lagi yang ingin kutanyakan pada Awan, tapi Mama memanggilku untuk duduk di sofa. "Kata bundanya, Awan baru bangun, jangan diganggu dulu, Lora."

Aku menggeleng. "Aku nggak ganggu, Ma, aku cuma nanya."

Tapi aku tidak membantah dan beranjak ogah-ogahan mengisi kursi kosong di sebelah Mama. Aku melihat Awan dari posisiku dan ia kembali memejamkan mata. Mungkin dia memang masih mengantuk dan tidak ingin diganggu.

"Tante, kaki Awan kapan sembuh?" tanyaku pada bunda Awan.

Bunda Awan tersenyum. "Tiga sampai empat bulan lagi baru bisa normal kembali."

Aku terpana ngeri, melirik lagi kaki kiri Awan yang digips. Pasti sulit sekali beraktivitas dengan kaki patah. Bagaimana Awan akan bermotor lagi jika kondisinya begini. Bagaimana ia ke sekolah?

Eh, tapi tunggu dulu. Untuk ke sekolah, aku bisa membonceng Awan jika ia mau. Meski aku yakin Awan yang seringkali sok jantan tidak mau mengendarai motor merah muda, tapi jika ia tak punya pilihan, ia bisa apa?

Baguslah, dengan begitu kami bisa kembali berangkat ke sekolah bersama. Aku akan menebus hari-hari lalu ketika berangkat ke sekolah tanpa Awan.

"Tante, kalau udah sekolah nanti, Awan ke sekolahnya bareng aku aja, aku bisa bonceng," kataku percaya diri.

Bunda Awan terkekeh. "Jangan deh, tante ngeri, kata Awan kamu nggak jago motoran. Awan akan diantar ayahnya ke sekolah."

Mendengar jawaban bunda Awan, aku jadi sedikit kecewa. Tapi aku bisa memahami alasannya.

Detoksifikasi Dopamin dalam Lima BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang