5.1. Informasi

1.4K 471 54
                                    

Luka di lututku faktanya tak melenyapkan semangatku di atas panggung. Di lagu pertama, aku memang duduk saat menyanyikan lagu Harmoni milik Padi. Namun, saat lagu kedua, Kala Cinta Menggoda, aku tak bisa menahan diri untuk tak berdiri. 

Nyeri di lututku tak berasa sama sekali. Barangkali karena Awan sudah mengobatinya. Barangkali juga karena terbawa euforia suasana. Atau barangkali karena aku memang kebal sakit saja. Sakitnya hilang begitu saja.

Meski aku masih pincang, tapi aku tak peduli. Teman-teman band-ku bahkan sudah tak ingin ambil pusing melihat tingkahku setelah berkali-kali memberi kode agar aku duduk saja.

Di antara kami semua, hanya Awan yang tampak tak senang aku kembali sehat dan bertenaga di panggung. Pasalnya, di meja kami sebelumnya, muka Awan tertekuk menatap ke arahku.

Tapi terserahlah, aku tidak peduli.

Kini kami sudah masuk lagu ketiga, lagu kesukaan Okan.

"Buat teman-teman yang ternyata selama ini cuma terjebak harapan-harapan ke gebetan," prologku, "Ini lagu untuk kalian."

Begitu Okan dan keyboard-nya bermain, aku bergabung dengan suaraku. Kini aku tidak lagi duduk, hanya berdiri di depan penyanggah mikrofon sambil memainkan bass dan bernyanyi.

Lagu kesukaan Okan ini kuhayati dengan segenap hati, lalu mendadak aku merasa tertampar ketika aku tiba pada penggalan lirik:

It's time to let it go, go out and start again. But it's not that easy.

Kemudian tanpa rencana, aku berkontemplasi di lagu ini saat melihat Tania dan Awan di kursi mereka, saling menatap.

Kenapa aku tak mudah untuk menjalankan misi? Semuanya seharusnya sempurna. Kenapa aku selalu sakit hati? Kenapa aku merasa tak ada kemajuan sama sekali kendati poin-poin misi telah tercentang separuh?

I've got high hopes, it takes me back to when we started.

Lalu seperti ada yang membedah kepalaku, pemahaman tersebut berangsur-angsur ditanam di diriku. Aku berhenti jadi penghuni jok belakang Awan, tapi diam-diam mengharapkan ia tetap menemaniku setiap pagi. Ketika ia memberiku jas hujan cokelatnya, aku tahu, aku mulai dibelenggu harapan.

Aku berharapㅡ

Ketika Awan memutuskan untuk tetap beriringan di jalan denganku bersama Imora. Ketika Awan menjemputku di tempat les. Ketika Awan menggenggam tanganku di konser. 

Misi ini seluruhnya omong kosong. Aku tidak bisa menyangkal bahwa jauh dalam lubuk diriku, ada harapan yang memangkas pelan akal sehatku.

Aku berharapㅡ

bahwa Awan juga mencintaiku. Sedikit saja. Barangkali ia tidak sadar, ada rasa yang tumbuh dalam dadanya, persis seperti rasaku.

Karena itu, aku datang ke konser Ari Lasso dengannya. Aku berkali-kali mencuri pandang padanya di sekolah. Aku menyaksikan Awan bermain PS dengan Nolan tanpa berniat ke kamar. Aku memakai dress. Aku berdandan. Aku mengurangi kadar cerewetku di depannya. Akuㅡ

aku tidak pernah betul-betul menginginkan misi ini berhasil. Aku hanya terus menjauh sambil membayangkan bagaimana jika Awan juga mencintaiku.

***

Penampilan band kami usai dan seperti dua minggu lalu, kami akan makan bersama sebelum pulang. Ketika kami kembali ke meja, memesan makanan, Tania dan Awan pamit ke area taman di luar kafe ini, hendak berdua. Aku hanya tersenyum dan berusaha santai menanggapinya.

Usai berkontemplasi di panggung tadi, aku mencoba untuk merekonstruksi lagi alur pemikiran sendiri. Yang mesti kubenahi adalah otakku, aku harus menanamkan sugesti bahwa Awan tidak mencintaiku. Bahwa aku memang jatuh cinta sendirian.

Detoksifikasi Dopamin dalam Lima BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang