2.1. Kedekatan

1.9K 578 19
                                    

"Papa aku mau les."

Keinginan les kuutarakan saat melihat Papa dan Nolan menonton televisi di sabtu sore yang tenang ini. Aku selalu diajarkan untuk mengajukan keinginan pada orang tua di kala mereka senggang. Dahulu aku kira itu sebatas karena mereka tak ingin diganggu saat sibuk, tapi kini aku mengerti bahwa waktu senggang membantu orang tua tetap rileks ketika mendengar apa pun keinginan anaknya—bahkan jika itu keinginan gila.

"Ya kamu juga tiap minggu les ke rumah Awan, ngapain izin lagi," sahut Papa heran.

Aku menggeleng. "Bukan belajar bareng Awan, Pa. Tapi les di tempat les kayak orang-orang gitu."

"Kok?" Papa menoleh padaku, kini memberi intensi penuh, aku tahu dia pasti tengah dilanda bingung atas sikapku.

Sejak kelas tujuh, sesungguhnya Papa sudah menyarankan agar aku les untuk menunjang nilaiku yang mengkhawatirkan di mata pelajaran Matematika. Tapi aku bersikeras tak ingin dan lebih memilih untuk memaksa Awan memberiku les pribadi sepekan sekali.

Les pribadi itu berlanjut hingga SMA, padahal aku sudah berjanji akan berhenti meminta Awan mengajarku begitu Ujian Nasional SMP berlalu, tapi rupanya aku tak bisa berhenti—bukan tidak ingin, tapi tidak bisa. Itu karena ketika SMA, aku berkenalan dengan Fisika, sebuah momok yang membuat Matematika tampak seperti kumpulan angka menggemaskan.

Semestinya saat kelas sepuluh, aku pilih jurusan IPS saja, mengingat aku lemah di Matematika dan teman-temannya. Tapi melihat Awan yang memilih jurusan IPA, aku tak berpikir dua kali untuk masuk di jurusan yang sama demi kembali sekelas dengannya, seperti saat SMP.

Namun, aku harus puas dengan kelas IPA-D sementara Awan bertempat di IPA-A. Sekolah menyeleksi siswa berdasarkan nilai dan tentu saja nilai gemilang Awan membawanya ke tampuk tertinggi di hirearki kelas ini.

"Tahun ini aku bakal UN, Pa. Aku pikir sudah waktunya aku buat les dengan serius, kalau bareng Awan, aku seringnya main, terus Awan marah-marah melulu," ucapku, berpura-pura mengeluhkan sikap Awan. Padahal semua orang juga tahu, Awan sering menggerutu karena sikapku yang malas-malasan.

Sebenarnya ia sudah begitu sabar membantuku memahami pelajaran, makanya aku senang belajar bersamanya, sebab walau aku kerap mengeluh dan lebih selera leyeh-leyeh, dia tetap memastikan aku bisa mendapatkan satu ilmu di sesi belajar mingguan kami. Hingga kini, nilai akademikku yang membaik bisa dikatakan berkat bantuan Awan yang tak kenal lelah.

Papa tidak banyak berkomentar atas alasanku yang mengada-ada. Ia hanya mengangguk setuju dan aku segera memberinya opsi tempat les yang cukup terpercaya di kota kami.

Akhirnya, lewat diskusi yang separuh serius dengan Papa, diiringi celetukan Nolan yang gila urusan, aku memutuskan untuk les di tempat yang tidak jauh dari rumahku, aku mengambil dua kelas, yaitu fokus Ujian Nasional dan SBMPTN.

Papa langsung menghubungi pihak mentor tempat les tersebut dan disepakatilah bahwa mulai jumat dan sabtu pekan depan, aku akan les.

***

Setelah makan malam, aku bertandang ke rumah Awan dengan tujuan menjalankan misi detoksifikasi dopamin nomor dua.

Tak ada buku yang kubawa seperti pertemuan sebelum-sebelumnya. Pertemuan rutin yang terjadwal setiap pekan sejak kami kelas tujuh—diprakarsai olehku yang kesulitan mengikuti pelajaran—akan dihentikan olehku karena kesulitan mengendalikan perasaan.

"Kak Kai, Awan mana?" tanyaku pada satu-satunya kakak Awan yang tengah duduk sofa ruang keluarga sambil menonton teve dengan tenang. Kak Kaisar hanya berselisih tiga tahun usianya dari Awan, tapi pembawaannya dewasa sekali.

"Ada di kamar, bentar kupanggil." Kak Kaisar berdiri dan berlari kecil menuju lantai dua, hendak memanggil Awan. Sementara aku tanpa malu-malu berbaring di sofa bekas Kak Kaisar sambil menonton teve yang menayangkan talkshow.

Rumah Awan adalah rumah kedua yang aku nyaman di dalamnya setelah rumahku sendiri, lebih nyaman dari rumah nenekku. Di rumah ini, aku bisa melenggang kemana pun kecuali kamar penghuni rumah. Mama selalu menyuruhku untuk menghargai ruang paling pribadi seseorang.

"Gelora sudah makan?" Samar-samar kudengar suara bunda Awan dari arah dapur. Aku yang berbaring di ruang keluarga memang bisa kelihatan dari dapur yang hampir tak ada sekat.

"Sudah, Tante," seruku agar bunda Awan mendengarnya.

"Tante ada bikin choco cookies kesukaan kamu ini," balas bunda Awan.

Aku sekonyong-konyong bangkit dari sofa dan berlari kecil menuju dapur. Di meja makan benar ada toples berisi choco cookies. Menarik kursi, aku duduk sambil menikmati kue kesukaanku ini. Di hadapanku, dengan posisi membelakangi, ada bunda Awan yang sedang mencuci piring. Setelah menelan satu kue ke dalam perut, kuambil tiga ke dalam genggaman lalu berdiri dan menghampiri bunda Awan.

"Gila, choco cookies Tante memang juara. Jangan tanya Mama, ya, tapi menurutku cookies Tante masih lebih enak dari bikinan Mama," pujiku tulus. Aku tidak berbohong sama sekali. Sejak mencoba cookies buatan bunda Awan, aku sudah menobatkan beliau sebagai pembuat cookies terenak sejagat duniaku.

Bunda Awan tertawa senang sambil membasuh piring dan meletakkannya di rak, kemudian menatapku geli, kami sekarang berdiri bersisian. "Kamu kalau ngerayu emang jago."

Tiga cookies di tanganku telah habis dan aku mencuci tangan dari keran wastafel pencucian piring yang masih mengalirkan air sambil membalas, "Aku nggak jago ngerayu, Tante. Kalau aku jago, barangkali Papa udah beliin aku ponsel baru, jadi yang tadi itu jujur."

Bunda Awan lagi-lagi tertawa, menulariku dengan mudah. Tawa Bunda Awan adalah tawa yang khas karena suaranya sedikit serak. Ketika ia tertawa, terdengar begitu menyenangkan sehingga hatiku menghangat.

Aku pun turut membilas piring yang telah berbalut sabun, berniat membantu bunda Awan tapi beliau menahan tanganku setelah berhasil meletakkan satu piring tadi ke rak. "Nggak perlu bantu, kamu belajar aja sana sama Awan."

"Aku nggak ke sini buat belajar, Tante." Aku mengabaikan protes bunda Awan dan kembali membasuh piring.

"Loh, kenapa? Bukannya malam minggu gini waktunya kalian belajar?" tanya bunda Awan heran.

Aku menggelengm berusaha menetralisir perasaan ketika membalas, "Dulunya gitu, Tan, tapi sekarang aku mau berhenti. Aku ke sini buat kasih tahu Awan kalau aku mau berhenti."

"Kenapa berhenti?"

Rasanya seperti ada yang menabuh jantungku sehingga berdebar hebat kala mendengar pertanyaan itu, sebab yang bersuara bukan bunda Awan, suaranya telak milik laki-laki yang kukenal, yang kusayang.

Tubuhku merespon cepat dan berbalik mengikuti sumber suara tersebut, dan aku menemukan Awan tengah duduk di kursi yang semula kutarik. Kulihat choco cookies yang berkurang tumpukannya di dalam toples tersebut. Itu berarti Awan sudah cukup lama duduk di sana tanpa bersuara.

Lalu pernyataan terakhirku barangkali mengusiknya hingga ia memutuskan menimpali, menatap mataku lekat dan bertanya sekali lagi, "Kenapa berhenti, Ra?"

***

// CATATAN 30 JUNI 2020 //

Selamat membaca, terima kasih sudah betah.

Detoksifikasi Dopamin dalam Lima BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang