Ketika kau jatuh cinta, pernahkah kau bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di dalam tubuhmu sehingga dadamu berdebar, lidahmu kelu, dan hatimu cenat-cenut? Sebab aku mempertanyakan hal itu.
Pertanyaan tersebut tidak hadir di benakku sejak dahulu. Namun, sejak minggu lalu, seketika saja pertanyaan itu menjadi hal yang senantiasa berkutat di kepalaku; sebab aku telah jatuh cinta untuk kali pertama.
Hari minggu lalu adalah hari perhelatan konser Padi, band kenamaan Indonesia sekaligus kenamaan di hatiku dan Awan. Kami berdua tumbuh dewasa diiringi lagu-lagu mereka, maka takkan mungkin kami mau melewatkan malam bernyanyi bersama Padi, mendengarkan musiknya, larut dalam suasana sakral diiringi irama.
Saat malam terlaksananya konser, kusaksikan ribuan manusia memadati satu sisi ruang terbuka, menanti dengan sukacita band mengisi panggung lalu melenakan kita semua dengan sajian karyanya. Aku dan Awan berdiri di antara mereka dengan senyum semringah.
Ketika band naik ke atas panggung, sorak penonton menguar bebas di udara. Pekik gembira bukan hal yang bisa dibendung lagi saat itu. Euforia melingkupi suasana dan aku hanyut di dalamnya.
Satu demi satu lagu Padi mulai dibawakan; Sobat, Begitu Indah, Kasih Tak Sampai, Mahadewi dan lain-lain, dan lain-lain.
Ketika musik menghentak, aku tidak akan malu-malu untuk meloncat dan berteriak. Ketika iramanya memelan, ponselku yang bercahaya akan kuayun di udara dan sejenak akan kuresapi suasana syahdu yang tercipta.
Awan tak jauh berbeda. Ia bernyanyi penuh emosi di setiap lagu yang bertempo cepat seperti Sobat. Ia meloncat dan berseru-seru. Semua yang kuperbuat juga diperbuat Awan, kecuali mengayunkan ponsel. Ia tidak ingin terlalu larut dan menjadi emosional katanya, padahal aku tahu dia hanya gengsi.
Hingga setengah jam berlalu, kening kami mulai dialiri keringat tapi senyuman juga tak usai-usai terulas di bibir. Kami bahagia dengan pengalaman tersebut. Di panggung, Bang Fadly sang vokalis bernarasi untuk lagu yang akan ia nyanyikan selanjutnya.
Narasi yang cukup panjang karena diselingi apresiasi terhadap energi positif manusia yang berkumpul saat itu. Aku tersenyum mendengar pujian Bang Fadly, sedikit terharu karena sepertinya mereka merasakan kesenangan seperti yang kami rasakan.
"Mau minum?" Aku bertanya kepada Awan.
Awan mengangguk. Jika ingin minum, maka saat itulah waktu yang tepat karena Bang Fadly masih berbicara dan penonton dalam mode tenang mendengarkan. Aku mengambil botol minum di tas, kuserahkan pada Awan yang langsung meneguknya rakus. Sejurus kemudian, ia kembalikan botol tersebut dan aku juga meminumnya.
Belum lagi air mengalir dengan baik di kerongkonganku, musik telah kembali terdengar. Dentingan keyboard saja, sederhana, namun penonton menggila. Mereka yang tadinya tenang mendengarkan, kembali menjerit seperti sebelumnya. Ponsel-ponsel diangkat ke udara untuk dokumentasi dan jarak yang tadinya lega kembali dikikis oleh penonton yang merangsek ke depan.
Situasi yang tiba-tiba kembali panas membuatku tak siaga sehingga terdorong oleh penonton lain. Tanganku sibuk menutup botol minum sambil tetap menahan diri agar seimbang. Begitu botol minum telah aman di dalam tas, aku baru sadar Awan telah terpisah.
Masih di tengah desakan penonton lain, aku menoleh mencari-cari sosok Awan dengan panik. Aku tidak ingin menghabiskan sisa konser tanpanya, rasanya tak aman dan nyaman. Tapi tak kutemukan Awan meski aku telah menyisir hampir seluruh wajah di dekatku.
Orang-orang tak lagi mendorong ke depan dan posisiku sudah stabil. Musik yang mengalun mulai diterjemehkan oleh kepalaku, sebelumnya aku terlalu panik sampai tak mendengar irama apapun selain kebisingan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detoksifikasi Dopamin dalam Lima Babak
Fiksi Remaja[novel] • telah tamat pada 10/01/21 Gelora menyadari bahwa ketika jatuh cinta, otaknya memproduksi dopamin dalam jumlah berlebih yang membuatnya ingin selalu bersama Awan-pria yang ia jatuh cinta padanya. Namun, jatuh cinta pada Awan adalah bencana...