Tujuh jam sebelum tampil di Notasi...
"Di depan ada dua cowok, Kak Lora!" Nolan memberi informasi dengan berteriak dari lantai satu.
Aku ada di lantai dua, kamarku, telah selesai bersiap dan bergegas keluar rumah setelah mendengar seruan Nolan.
Langkahku lincah menapak tangga satu demi satu, tas bass yang tergenggam di tangan kanan tidak menghalangiku untuk tetap gesit.
Sebelumnya, aku telah memberitahu kedua orang tuaku mengenai latihan di rumah Luna tadi malam. Aku tak tahu mereka berdua tengah berada di mana sekarang, barangkali di kamar, jadi aku hanya berteriak, "Aku pergi dulu, Ma, Pa!" tanpa menghentikan lari-lari kecilku.
Nolan yang rupanya berdiri menghalangi pintu menatapku dengan mata memicing. Aku menanyakan "apa" tanpa suara dengan gerakan bibir sambil mendorongnya untuk menyingkir dari pintu.
"Tumben sama cowok lain," goda Nolan sambil bergantian menatap aku, Rafka, dan Okan.
"Temanku bukan cuma Awan," sahutku, mengerti maksudnya. Lalu tanpa menunggu jawaban lagi, aku bergegas menuju Imora yang telah siap pakai sejak tadi.
Kuletakkan bass di depan tubuhku, berdiri di daerah antara pijakan kaki. Rafka dan Okan yang melihatku sudah siap jalanㅡmereka sedari tadi sudah bersiap di motor masing-masing yang terparkir di depan gerbang rumahkuㅡmenyalakan motornya. Kami bertiga akan ke rumah Luna bersama-sama. Kebetulan rumahku dilalui oleh Rafka dan Okan, jadi mereka singgah menjemputku. Sementara rumah Adi tidak melalui rumahku, jadi ia langsung ke rumah Luna.
Saat motorku telah mencapai gerbang rumah, barulah terdengar Okan yang berseru ke arah rumah di seberang rumahku. "Wan, duluan, ya!"
"Duluan, Wan!" pun Rafka pamit seperti Okan.
Dan aku bisa menangkap Awan yang tengah duduk di teras rumahnya, entah tengah melakukan apa ia di sana. Awan selalu lebih menyenangi kegiatan bersantai di dalam rumah daripada harus duduk-duduk tak jelas di teras seperti orang tuaㅡkatanya. Pagarnya terbuka lebar sehingga pemandangan di jalanan kompleks perumahan bisa ia lihat dengan jelas.
Dengan pertimbangan sekian detik yang tak masak, kuputuskan untuk ikut pamit pada Awan seperti Okan dan Rafka. Tidak mungkin aku berpura-pura tidak melihatnya meski aku sangat ingin, berinteraksi dengan Awan adalah hal terakhir yang ingin kulakukan saat ini. Kejadian semalam memang menyakitkan bagikuㅡpadahal aku yang cetuskanㅡtapi hal itu tidak lantas bisa menjadi alasan untuk bersikap tidak ramah pada Awan.
Aku paham, Awan pasti kesal dengan kejadian malam tadi. Ia meluangkan waktunya untuk menjemputku di tengah hujan dan bukannya berterima-kasih, aku justru menyuruhnya mengambil jarak.
Tapi aku tidak ingin memikirkan lebih jauh lagi, ini untuk kebaikan pertemanan kami. Sudah cukup semalam aku menangis seperti orang bodoh. Jarak antara aku dan Awan hanya akan sementara.
Iya, sementara.
Aku sungguh-sungguh-sangat tak ingin hubungan persahabatan kami rusak karena "perasaan". Nanti, setelah aku berhasil dengan misi detoksifikasi, aku akan jadi yang pertama mengikis jarak kami. Aku hanya berharap, semoga ketika aku siap memperbaiki apa-apa yang telah renggang di antara kami, aku tidak terlambat.
"Bye, Awan!" Aku melambai padanya singkat sambil menyunggingkan seulas senyum.
Lalu karena terlalu takut melihat respon dari Awan, baik lisan maupun mimik wajah, aku segera menurunkan kaca helm dan menjalankan motor duluan.
Sekilas aku bisa mendengar Awan meneriakkan kata "hati-hati" kepada kami. Namun, aku tidak menoleh.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Detoksifikasi Dopamin dalam Lima Babak
Teen Fiction[novel] • telah tamat pada 10/01/21 Gelora menyadari bahwa ketika jatuh cinta, otaknya memproduksi dopamin dalam jumlah berlebih yang membuatnya ingin selalu bersama Awan-pria yang ia jatuh cinta padanya. Namun, jatuh cinta pada Awan adalah bencana...