5.5 Interpolasi

1.3K 454 43
                                    

Usai bertemu dengan Tania, aku tidak kembali ke rumah sakit. Mendadak aku merasa tak bisa bertemu Awan dalam kondisi kepala penuh berbagai macam spekulasi. Berbeda dengan Tania yang langsung ke rumah sakit setelah aku mengatakan Awan kecelakaan.

Rentetan informasi baru dari Kak Kaisar terkait orang tuanya, lalu hubungan Tania Awan yang ternyata tidak seperti bayanganku selama ini, membuat tubuhku letih dikuasai pikiran.

Sekarang aku berada di kamarku sendiri. Nolan ikut Mama ke komunitas sementara Papa bekerja. Aku sendirian merenungi catatan misi detoksifikasi. Ada dua poin yang belum dicentang, dan tiga poin yang telah tercentang sesungguhnya tak memberi dampak apa-apa terhadap perasaanku.

Aku mendesah mengingat kembali informasi yang disampaikan Tania. Mereka sudah putus. Lalu apa yang mesti kulakukan sekarang.

Lama aku menekuri buku catatan itu, menimbang apakah sudah saatnya aku berhenti. Toh, Awan tak punya kekasih lagi, berarti aku sah-sah saja mencintainya, bahkan mengejarnya pun boleh.

Tetapi jika mengingat kembali ada alasan yang membuat Awan bahkan tidak bisa menerima perempuan sekelas Tania, aku jadi tidak percaya diri.

Untuk kesekian kali, aku kembali mengerang karena terlalu bingung dengan masalah ini. Tidak tahu mesti melakukan apa, aku meraih ponsel dan menonton kembali video yang menerangkan soal detoksifikasi dopamin dan kiat-kiat berhenti kecanduan media sosial.

Jika merujuk pada video tersebut, semestinya aku sudah selesai dengan perkara cinta-cintaan ini sebab sudah dua bulan aku menjalani misi. Minimal aku sudah bisa berhenti berharap memiliki Awan, walau rasa masih tertinggal separuh di dadaku. Aku mestinya sudah bisa kembali bermain dengan Awan, menjadi pendengar keluh-kesahnya, bersenang-senang seperti dahulu.

Apa jangan-jangan dalam perkara jatuh cinta, kita tidak bisa menanganinya semudah menangani kecanduan media sosial. Tapi bukankah konsep dasarnya sama saja?

Aku kembali mendesah letih. Tiba-tiba ponsel di tanganku bergetar, Ivana menelepon. Aku mengangkatnya.

"Ya, Van?"

"Halo, Ra, malam ini kamu tampil di Notasi, kan?" tanya Ivana.

"Iya." Memang benar, aku tidak bisa meninggalkan kegiatan tersebut meski sedang tidak dalam suasana hati yang prima. Aku sudah izin tak ikut latihan siang ini di rumah Luna, tidak mungkin aku membatalkan penampilan nanti malam. Aku pun cukup ingin tampil sebab bernyanyi selalu ampuh membantuku lebih tenang.

"Aku pengen ikut dong, dua minggu lalu kan aku batal ikut," kata Ivana di seberang.

"Iya, ikut aja."

"Jemput ya?" pintanya, "Motorku dipakai kakakku, lagian kita kan searah."

"Oke."

Ivana terdiam. Aku melihat layar ponsel dan menemukan kami masih terhubung satu sama lain. Baru saja aku akan bertanya, Ivana bersuara duluan. "Kamu baik-baik aja, Ra? Kok suaranya lesu gitu."

Bertahun-tahun berkawan sebangku dengan Ivana, aku khatam kebiasaannya yang sangat perhatian ke teman dekat. Ditanya soal kabar olehnya dengan intonasi lembut membuatku tiba-tiba saja disesakkan rasa ingin menangis. Cengeng sekali.

Selama ini aku percaya bahwa masalah jangan dipendam, ceritakanlah agar setidaknya lega. Tapi pada praktiknya, justru aku yang memendam masalah cukup lama.

Lama meninmbang, aku pun memberanikan diri. "Van, aku mau cerita."

"Cerita aja Ra, aku dengar."

"Aku suka Awan, Van," kataku pelan, "Aku semestinya tidak begitu, tapi aku suka dia."

Lalu mengalirlah seluruh ceritaku, sejak bagaimana awal perkara ini bermula, soal misi detoksifikasi, tentang Tania dan Awan, kondisi Awan sekarang tanpa menyinggung masalah keluarganya, hingga sejujur-jujurnya perasaanku saat ini; bahwa aku masih mencintai Awan, tidak berkurang kadarnya sejak pertama aku sadar hingga hari ini.

***

"Kamu butuh saran atau hanya mau didengarkan?" adalah kalimat pertama Ivana usai aku bercerita.

Aku menyusut air mata dan memperbaiki posisi ponsel di telingaku. "Kalau kamu ada saran, boleh."

"Pertama, misi kamu konyol banget, Ra," ujar Ivana terus terang, membuatku merengut. "Jatuh cinta itu perkara kompleks, bisa dirasionalisasi pakai sains tapi jelas nggak sesederhana berhenti kecanduan media sosial. Aku nggak tahu formula khusus berhenti jatuh cinta, tapi aku yakin kalau perasaan itu nggak mesti dilawan. Semakin dilawan, semakin mekar."

"Kamu selama ini berperang sama perasaan kamu sendiri, ya pantas aja tersiksa," lanjut Ivana.

"Aku nggak paham mesti ngapain, Van, aku pikir ini adalah solusi terbaik," akuku, aku merasa lemah sekarang. "Kalau aku nggak basmi perasaan ini, aku takut persahabatanku rusak."

"Faktanya sekarang pun persahabatan kalian rusak gara-gara misi itu," tohok Ivana. "Ra, sekarang mending kamu terima aja perasaan itu, akui, dan ya udah, jalani aja seperti biasa."

"Nggak bisa, mana bisa aku tetap berteman dengan Awan sementara aku selalu salah tingkah, aku selalu berharap dia suka aku," keluhku putus asa.

"Ya makanya jangan berharap."

Ucapan Ivana membuatku memberengut kesal. Nada bicaranya yang terkesan menggampangkan masalah membuatku menyesal membiarkan dia memberiku saran. Semestinya aku tidak mengizinkannya, dia saja belum pernah pacaran.

"Lora, yang bikin orang sakit hati itu sebenarnya ekspektasi-ekspektasi," ucap Ivana lebih lembut setelah kami berdua diam lama. "Kamu bisa jatuh cinta, rasain, terima perasaan itu, dan kamu bakal baik-baik aja kalau kamu nggak mengekspektasikan apa pun sama dia."

Aku mengigit bibir. "Susah nggak berekspektasi tuh. Bagaimana caranya?"

"Kamu latih. Tetap jalan sama Awan, tetap main bareng dia, lakukan apa pun sama dia, tapi kamu ubah mindset aja. Kalau dulu kamu ngelakuin itu karena kamu sahabatnya, sekarang kamu ngelakuin itu karena kamu cinta dia, dan kamu ingin dia ngerasain cintanya kamu. Tapi, kamu mesti latih untuk nggak ekspektasi dia bakal suka kamu juga," terang Ivana.

"Konsepnya mirip-mirip sama ngeidolain artis lah. Aku kan suka BTS, nih, aku beli albumnya, aku semangatin di medsos, aku datang ke konsernya walaupun mahal naudzubillah, itu aku lakukan karena aku cinta sama mereka. Aku nggak berharap mereka cinta balik sama aku, dengan mereka berkarya saja itu sudah cukup. Dan kamu bisa latih perasaan itu ke Awan. Mungkin nggak mudah, tapi aku yakin kamu bisa."

Diriku merenung atas penjelasan Ivana. Aku memutar otak bagaimana agar berhenti berharap Awan juga mencintaiku. Untuk menjauh, aku menyatakan bahwa aku tidak sanggup lagi. Tapi tetap di sisinya juga rasanya akan sangat menyakitkan meski sekarang dia sudah tidak punya pasangan.

"Aku nggak mau menjauh lagi, Van," kataku akhirnya. Ya, meski sulit, tapi membayangkan aku dan Awan kelak menjadi asing satu sama lain lebih menyesakkan lagi.

"Baguuuuus!" seru Ivana semangat, "Waktunya kamu salurkan perasaanmu, jangan dilawan lagi. Nggak usah mikirin bagaimana cara memenangkan hati Awan. Kamu lakukan apa yang kamu mau. Besok-besok kalau kamu terjebak ekspektasi lagi, nggak apa-apa, tapi ingat untuk tidak terlalu larut. Lama-kelamaan, kalau kamu sudah terbiasa, mampu menerima hubungan kalian yang sebatas sahabat aja, aku yakin perasaan cinta itu akan hilang dengan sendirinya."

"Intinya jangan menjauh," tegas Ivana. "Tapi jangan juga jadikan Awan duniamu, tetap buka hati untuk cinta cowok-cowok di luar sana."

Aku mengembuskan napas, merasa saran Ivana masuk akal sekaligus tidak menyangka dia cukup bisa diandalkan untuk urusan cinta. "Makasih, Van, nggak sia-sia kamu banyak nonton drakor."

Ivana tertawa di ujung telepon. "Sama-sama. Pokoknya jangan takut sama perasaan sendiri ya, Ra. Nggak usah khawatirkan semua hal yang belum terjadi. Kamu jatuh cinta aja, salurkan aja, perkara patah hati, kita bisa urus bareng belakangan. Yang penting kamu nggak lari dulu dari masalah."

Dan aku tak kuasa menahan senyum. Aku merasa beruntung dikelilingi teman-teman yang baik.

***


//CATATAN 01 DESEMBER 2020//

Sarannya Ivana kurang oke, nih.

Detoksifikasi Dopamin dalam Lima BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang