5.7. Atribusi

1.2K 439 51
                                    

Rupanya Awan memang menghindariku, aku yakin sepenuhnya ia begitu, tapi aku tidak mampu bertanya kenapa.

Ketika aku menghampiri sisi ranjangnya sehari setelah mengetahui kisah pribadi orangtuanya dan bertanya kabar, ia hanya menjawab seadanya. Seluruh keinginan untuk memeluk Awan, menyalurkan semangat, mengucapkan kata penghiburan terpaksa kutelan pahit ketika Awan tampak tak tertarik pada kehadiranku sama sekali.

Di sisi lain, di luar seluruh kelakuannya yang menurutku dingin, aku bisa bersyukur sebab ia masih bisa tersenyum pada bunda dan ayahnya. Setiap kali aku berkunjung ke rumah sakitㅡtanpa absen sehari punㅡaku hanya bisa puas menyaksikan kehangatan Awan dan bundanya, tanpa bersuara sama sekali, seperti aku menonton film di bioskop. Aku turut senang jika pemeran utamanya senang, dan sedih jika mereka sedih, tak peduli kehadiranku disadari atau tidak.

Kelakuan dingin Awan tentu saja membuatku tak berhenti bertanya-tanya. Salahku apa? Apa Awan kecewa karena aku menjauh selama ini? Hanya itu alasan logis yang bisa kupikirkan.

Tidak ingin memaksa, aku berusaha menanggapi sikap Awan dengan santai. Aku tetap konsisten menyapanya dengan riang, menanyakan keinginannya, meski akhirnya berakhir dengan jawaban pendek.

Hanya bunda Awan yang menjadi kawan berceritaku di ruang inap Awan. Sesekali Kak Kaisar datang dan kami mengobrol. Ayah Awan pun datang setiap malam, sepulang kerja, tapi kami jarang mengobrol karena tiap beliau datang, aku sudah bersiap pulang.

Hari ini, Awan sudah diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit setelah hampir tiga minggu dirawat. Sepulang sekolah, aku bergegas berganti pakaian dan menyambangi rumahnya. Kubawa seloyang bolu pandan buatan Mamaㅡaku yang request tadi pagiㅡsebagai hadiah kepulangannya.

"Tante, Awan mana?" tanyaku pada bunda Awan yang tengah menonton televisi. Bolu pandan kuletakkan di meja hadapan bunda Awan.

"Di kamar," jawabnya. "Ini bolu buat Awan ya?"

"Iya, Tan." Aku mengikuti bunda Awan yang membawa loyang bolu ke dapur untuk dipotong-potong.

Setelah meletakkan beberapa potongan di atas piring, bunda Awan menyodorkan piring tersebut padaku. "Kamu aja yang bawain ke Awan."

Aku tidak menolak. Segera kubawa sepiring bolu tersebut dan menderapkan langkah ke kamar Awan. Setelah mengetuk dua kali, aku membuka pintu kamar dengan pelan. Kepalaku melongok lebih dulu, mengecek keadaan kamar dan menemukan Awan yang bersandar di atas kasur, memangku laptop, menatapku.

Merasa Awan tak memancarkan aura-aura penolakan akan kehadiranku, aku membuka pintu kamar lebih lebar dan menampakkan diri sepenuhnya, menghampirinya.

Senyumku mengembang dan mengangkat piring di depan dadaku. "Kue selamat datang. Tadaaa!"

Awan merespon dengan senyuman yang hampir-hampir tak tampak. "Makasih."

"Gimana keadaan kamu? Udah lebih baik kan?" tanyaku, meletakkan piring di nakas lalu duduk di kursi yang tak jauh dari tempat tidur Awan.

"Iya."

"Pakai tongkatnya udah lancar nggak?"

Awan mengangguk. Sejenak aku kehilangan bahan obrolan. Awan pun tampaknya tak tertarik berbicara lebih panjang. Ia kembali menekuri laptopnya.

"Lihat apa sih di laptop? Nonton ya?" tanyaku.

Awan menggeleng. "Baca materi kelas yang ketinggalan."

Aku mengangguk. Memangnya aku harus menjawab apa lagi? Biasanya aku bisa lebih santai mengatakan apa saja, tapi atmosfer dalam kamar ini membantai habis kemampuan basa-basiku.

Detoksifikasi Dopamin dalam Lima BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang