Kejadian di konser semalam sukses mengikuti hari-hariku, bukan terkait penampilan Ari Lasso, tetapi Awan. Ia melekat di ingatan dan sekuat apa pun aku berusaha fokus pada apa yang terjadi saat ini, aku tidak mampu.
Ketika aku berkendara ke sekolah, tubuhku membawa Imora seperti robot otomatis, sementara pikiranku melayang-layang. Bahaya sekali sebab nyawaku yang menjadi taruhannya. Tapi mau bagaimana lagi, otakku terus memutar kenangan semalam.
Ada kebingungan yang kental dalam diriku, aku tidak mengerti mengapa Awan mendadak aneh tadi malam.
"Wan, kita kenapa nggak bareng Kak Kai sama yang lain aja, sih?" protesku semalam saat aku dan Awan berhenti di daerah yang memang cukup dekat dengan panggung.
"Aku pengen di depan, biar lebih jelas Ari Lasso-nya," jawab Awan santai.
Aku bersungut-sungut. "Kenapa mendadak pengen? Bukannya tadi siang kamu bilang nggak begitu suka Ari Lasso."
Awan berdeham. "Aku suka Dewa19."
Tentu saja aku tahu. Walaupun Ari Lasso bukan bagian dari Dewa19 lagi, tapi bagaimanapun mereka punya sejarah, jadi tentu Awan akan suka juga. "Terus kenapa tadi siang bilang nggak suka? Kenapa bohong?"
"Nggak bohong, memang nggak terlalu suka."
Sontak aku meninju lengan Awan hingga ia mengaduh. "Apaan sih, Wan, nggak jelas banget deh jawabannya! Ayo ah ke belakang lagi bareng yang lain."
Mata Awan memicing padaku, membuatku sedikit salah tingkah. "Kamu pengen bareng Kak Rendra, ya?"
"Ha?" tanyaku refleks, bingung ditodong pertanyaan aneh Awan. "Nggak, kenapa tiba-tiba jadi Kak Rendra?"
"Ya terus kenapa tiba-tiba pengen ke belakang? Biasanya juga kita berdua, kamu oke aja."
Aku nggak oke aja!
Itu yang ingin kuserukan pada Awan. Jika itu dulu, aku akan santai berdua dengannya. Tapi dulu dan sekarang sudah berbeda karena perasaan sialan ini. Dan atas alasan perasaanlah, aku tak ingin berdua saja dengan Awan. Hanya, tidak mungkin aku mengatakan hal itu.
"Aku nggak enak sama Kak Kai," jawabku akhirnya. "Dia yang traktir nonton, masa kita malah kabur."
Kudengar Awan berdecak dan sudah memalingkan wajah dariku. "Nggak usah mikirin Kak Kai, santai aja, dia nggak akan marah, kok."
Aku tidak sempat menjawab lagi setelahnya, selain karena telak tak punya dalih, Ari Lasso sudah muncul di atas panggung, membangkitkan euforia penonton dan membuatku seketika lupa dengan keanehan Awan yang tiba-tiba membahas Kak Rendra.
Tadi malam aku tidak terlalu memikirkan, tapi saat ini, di atas kendaraan, jauh di dalam pemikiranku yang liar aku bertanya-tanya: cemburukah Awan?
Tapi aku buru-buru menggeleng karena sadar bahwa hal itu tidak mungkin. Awan adalah manusia paling 'bodo amat' yang kukenal sejauh ini. Ia jarang peduli, ia hanya sering terbiasa; terbiasa mengantarku ke sekolah, terbiasa mengajariku tiap pekan, terbiasa menemaniku ke Notasi.
Menurutku, Awan adalah manusia yang minor simpati. Kebiasaan yang ia bangun dengankuㅡsetelah kupikir-pikirㅡadalah apa yang awalnya aku paksakan padanya, bukan atas inisiatifnya sendiri. Ia bahkan seperti itu ke Tania, terbiasa mengantar-jemput Tania pun hanya karena Tania yang memintanya.
Jadi, jika Awan saja jarang perhatian pada orang lain, mana mungkin ia cemburu. Barangkali ke Tania masuk akal, tapi padaku?
Oh sadarlah Gelora, jangan gila.
Namun, sebenarnya keanehan Awan tidak berhenti sampai di situ. Kesimpulan yang aku tarik tentang Awan cemburu tidak semata-mata dari satu kejadian itu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detoksifikasi Dopamin dalam Lima Babak
Teen Fiction[novel] • telah tamat pada 10/01/21 Gelora menyadari bahwa ketika jatuh cinta, otaknya memproduksi dopamin dalam jumlah berlebih yang membuatnya ingin selalu bersama Awan-pria yang ia jatuh cinta padanya. Namun, jatuh cinta pada Awan adalah bencana...