1.2. Bagian Dua

2.2K 609 29
                                    

Takkan kubiarkan misi detoksifikasi dopamin ini berakhir sia-sia. Aku takkan pesimis lagi. Lagipula, misi ini baru berjalan tiga hari, terlalu dini untuk menyerah. Maka aku menjalankan rencana lebih serius dari sebelumnya. Selain tekad, aku juga perlu usaha keras untuk membuat perasaanku kepada Awan kembali seperti saat sebelum Padi menggelar konser di kota kami.

Kemarin, Awan benar-benar mengawasiku di sepanjang jalan menuju sekolah, membuatku tergesa-gesa ingin tiba di tujuan dan menyudahi situasi ditatap Awan dari belakang. Berkali-kali aku melirik spion dan menemukan Awan betul-betul menatap motorku lekat.

Hal tersebut akhirnya membuat fokusku kacau. Spion yang fungsinya untuk membuat seseorang lebih awas terhadap kendaraan lain malah berubah fungsi menjadi alat yang membuatku bisa kecelakaan.

Saat tiba di parkiran dengan aman dan selamat—hal yang sangat aku syukuri—ia mulai berceramah panjang terkait kecepatanku yang seperti ingin menyaingi pembalap profesional.

Aku tak membalas setiap ucapannya yang berlebihan. Aku membebaskan ia mengeluarkan seluruh pendapatnya terkait kemampuan berkendaraku. Pada saat itu, aku sedikit menyadari bahwa sifat cerewet memang menyebalkan. Ironisnya, sifat tersebut melekat dalam diriku dan keluar hampir setiap waktu.

Awan bukan laki-laki cerewet. Tapi barangkali karena terlampau kerap bermain denganku, ia mengadopsi kemampuan tersebut dengan baik kemarin.

Hari ini aku telah bertekad untuk pergi lebih pagi ke sekolah. Sebelumnya, aku dan Awan adalah siswa yang selalu disambut bel masuk saat tiba di gerbang atau parkiran sekolah, sekarang aku pastikan akan tiba tiga puluh menit lebih awal dari kebiasaanku sebelumnya.

"Huwa!" Nolan, adikku yang duduk di bangku kelas lima sekolah dasar menjerit saat menemukanku duduk di meja makan dengan seragam putih abu-abu yang telah rapi. "Astaga, ini sudah jam tujuh, ya? Aku belum mandi!"

Aku menggeleng tenang dan mengabaikan reaksi panik berlebihan bocah tersebut. "Masih jam enam."

Nolan mengembuskan napas lega dan menarik kursi di sampingku. Tanpa izin dia merebut roti yang telah kuoles selai dari tanganku. "Terus kenapa Kak Lora udah rapi banget?"

Aku menatap Nolan yang mengunyah rotiku tanpa rasa bersalah. Kalimat penuh amarah sudah di ujung lidah tapi prinsip 'pagi-pagi pasti happy' seketika mengambil alih kesadaranku. Pagi-pagi aku tak boleh bertengkar. Jadi, kubiarkan sikap kurang ajar Nolan dan mengoles kembali lembar roti yang lain dengan telaten dan sabar.

"Kesuksesan diawali dengan berangkat pagi ke sekolah," jawabku asal.

"Betul itu," sahut Mama yang datang dari dapur membawa nasi goreng untukku. Tadinya Mama pun terkejut mendapatiku sudah siap berangkat ke sekolah sementara sarapan belum jadi. Jadi Mama menyuruhku untuk makan roti dulu sementara ia akan menggoreng nasi dengan kilat.

Nolan tak bertanya lagi dan kuusaikan sarapan pagiku yang nikmat. Tanpa berlama-lama, aku langsung menuju garasi dan mengeluarkan motor merah mudaku yang telah kuberi nama Imora, akronim dari Ini Motor Gelora.

Saat sudah duduk di atas Imora, dari halaman rumah, aku menatap rumah Awan yang berdiri kokoh di seberang jalan. Ganjil sekali rasanya ke sekolah tanpa Awan. Diam-diam aku mengharapkan laki-laki pemalas itu ternyata telah siap ke sekolah di jam yang begitu dini untuknya ini. Lalu ia akan memaksa menemaniku lagi di sepanjang jalan menuju sekolah.

Namun, aku tahu aku tidak bisa memupuk harapan tersebut. Jika aku tak bisa berpuasa dari kehadiran Awan setiap ke sekolah, aku sama saja memberi dopamin asupan peristiwa yang ia inginkan dan membuatku semakin kecanduan.

Aku mengembuskan napas pasrah, kuturunkan kaca helm untuk menutupi raut wajahku yang pasti berubah kelabu. Hancur sudah prinsip 'pagi-pagi pasti happy' yang kurawat sedari tadi.

Detoksifikasi Dopamin dalam Lima BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang