4.1. Gelora dan Awan yang Sudah Besar

1.6K 513 65
                                    

"Kak Kai, gimana penampilan aku?"

Setelah berhasil mendapatkan izin ke konser dari Mama dan Papa, aku mengekori Awan ke rumahnya untuk mengambil motor. Khusus malam ini, aku akan kembali merasakan jok belakang motor Awan. Rasanya entah kenapa cukup mendebarkan.

Imora tak bisa kubawa. Selain karena Awan mencela kemampuan bermotorku dan—mewanti-wanti sekali—tak ingin direpotkan dengan mengawasiku malam ini, orang tuaku pun melarang. Aku tak banyak protes juga, memikirkan jarak tempuh rumahku dan lokasi konser yang jauh, sejujurnya aku sudah malas duluan melibatkan Imora.

Kak Kaisar keluar dari rumah setelah kami panggil dari teras dengan penampilan santai, seolah ke konser itu sama dengan ke warung tetangga. Ia mengenakan celana selutut dengan hoodie yang tudungnya ia kenakan, kemudian sandal biasa, aku bersyukur bukan sandal jepit. Lalu Awan, dasar adik-kakak, hanya mengenakan jeans dengan kaos oblong hitam dilapisi jaket cokelat lusuhnya, dan sepatu.

Rasanya hanya aku yang heboh sendiri karena mengenakan dress, mengepang rambut dengan menyisakan poni tipis di dahi lalu sedikit make up. Tapi tak apa, aku tetap senang dengan penampilanku dan ingin dipuji, karena itu aku bertanya pada Kak Kaisar sebab Awan sejak tadi tiada niat memuji, justru mencela penampilanku yang heboh menurutnya.

"Cantik," jawab Kak Kaisar sambil tersenyum.

Aku mengangguk puas dan mengacungkan jempol ke Kak Kaisar. "Penilaian Kak Kai emang nggak pernah salah."

Kudengar Awan mendengus di sebelahku.

"Kak, apa kita bawa mobil aja? Gelora pakai dress masa naik motor," ucap Awan pada Kak Kaisar.

Usulan Awan itu segera saja kuprotes. "Sehari-hari juga aku pakai rok ke sekolah, nggak ada bedanya, naik motor ajalah."

Bukan apa-apa, aku hanya tidak enak merepotkan Kak Kaisar dengan membawa mobil karena Awan belum punya SIM. Aku tahu Kak Kaisar selalu lebih senang bermotor kemana pun, sebab ia menyukai kepraktisan dan sering kudengar mengeluhkan macet.

Lagipula, di luar hal itu, ada sedikit keinginan dalam dadaku untuk kembali bermotor dengan Awan. Hanya untuk malam ini saja. Sekali saja.

"Beda dong, Ra. Rok sekolahmu panjang, dress-mu yang ini pendek, bakal kesingkap kalau duduk di jok motor," sahut Awan.

Mata Awan sepertinya butuh ke optik. Dress ini tidak begitu pendek, ia hanya sedikit di atas lutut. "Aku pakai celana kok, kalau tersingkap juga nggak apa-apa."

Awan dan Kaisar terdiam menatapku.

"Kenapa kalian? Nggak percaya aku pakai celana?" tanyaku heran. "Nih, aku tuh pakai celan—"

Ucapakanku terhenti saat Awan mencekal tanganku yang sudah akan menarik dress-ku ke atas untuk memperlihatkan celana pendek di baliknya.

"Eh!" Awan berseru membuatku tersentak kaget.

Sejenak aku dan Awan hanya saling menatap, lalu aku bisa membaca bahwa ia terkejut sekali dengan aksi "buka-bukaanku". Rasa malu seketika menjalari sekujur tubuhku sehingga aku memalingkan wajah dan menemukan Kak Kaisar menahan tawa melihatku.

Astaga.

Awan pun akhirnya melepaskan cekalannya pada tanganku. Lalu Kak Kaisar berdeham di tengah suasana yang canggung.

"Lain kali jangan angkat-angkat rok, Ra. Kamu udah gede, bahaya. Kita naik mobil saja," putus Kak Kaisar. "Aku ke dalam dulu minta kunci mobil Ayah."

Kak Kaisar masuk kembali ke dalam rumah, menyisakan aku dan Awan berdua di teras, tak tahu harus melakukan apa.

"Wan," panggilku, memecah hening, mengolah otak untuk membangun bahasan.

Detoksifikasi Dopamin dalam Lima BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang