Penampilan band kami di Notasi telah tertinggal satu minggu yang lalu. Sekarang telah hari minggu kembali dan aku tengah bersantai di kamarku, menikmati siang sembari melamun.
Waktu yang berlalu sejauh ini membuat aku merasakan beberapa hal yang berubah, tidak signifikan, tapi ada. Aku jadi punya banyak variasi kegiatan dan teman.
Jika dulu, saat istirahat aku kadang menghampiri Awan atau hanya bersama Ivana dan Okan, kini aku sering menghabiskan jam istirahat bersama Rafka, Adi, dan Luna juga. Selain itu, kami beberapa kali latihan band di rumah Luna saat pulang sekolah.
Kelas kami juga jadi lebih sibuk dengan persiapan ujian semester senin besok, seperti mem-fotocopy catatan Wanda yang lengkap dan belajar bersama Rafka yang memang hobi bagi-bagi ilmu. Aku pun masih les setiap jumat dan sabtu malam. Rasanya aku terlalu rajin belajar satu minggu ini.
Namun, kepada siapa pun aku berguru, jauh di lubuk harapanku, aku rindu menghabiskan waktu di ruang tengah rumah Awan dan diajarnya.
Sepadat apa pun kegiatanku minggu ini, keinginan menghabiskan waktu tanpa melakukan apa-apa bersama Awan tidak jua hilang dari pikiranku.
Padahal hubunganku dengannya selama satu minggu ini cukup renggang.
Di Notasi minggu lalu, setelah kami menyanyikan lagu terakhir dan turun dari panggung, kami berlima bergabung bersama Awan dan Tania di lantai dua atas ide Rafka.
Saat itu, aku dan Awan tak banyak mengobrol sebab suasana ramai, banyak yang berbicara dan topik pun beragam, tiada keharusan aku dan Awan saling berbincang. Karena itu, aku cukup lega. Walau berkali-kali aku mendapati Awan menatapku, tapi aku tak ingin menanggapinya berlebihan.
Pulang dari Notasi, aku naik motor beriringan dengan Okan dan Rafka, Adi mengantar Luna pulang karena arah rumah mereka sama, sementara Awan juga mesti mengantar Tania pulang.
Setelah itu, tiada lagi interaksi antara aku dan Awan selain senyum yang selalu kulempar saat tak sengaja bertatapan dengannya di sekolah.
Aku tahu Awan pun sebenarnya sibuk mengajar peserta olimpiade Fisika yang akan dilaksanakan minggu depan, setelah ujian semester. Kesibukan Awan betul-betul membantu proses melarikan diriku dari perasaan ini.
Berbicara soal perasaanku padanya, aku mulai meragukan misi ini. Apakah misi detoksifikasi dopamin ini benar-benar bisa membantuku? Sebab percakapanku dengan Awan minggu lalu, sepulang les, terus menghantuiku.
Kini aku merasa bukan cuma aku yang menghindari Awan, tapi Awan pun demikian. Kami seperti orang asing dan aku jujur saja sakit hati. Rasa sakit ini berbeda. Aku seperti ingin menghentikan saja seluruh misi ini, berlari ke Awan dan berpuas diri hanya dengan menjadi temannya, melihatnya dengan Tania bersama. Tetapi setidaknya, aku tidak disiksa rasa sakit hati karena harus terus menerus berjauhan.
Aku mengacak rambut frustrasi. Kuraih buku catatan misi ini dan menatap nanar tulisan di sana.
Hal-hal yang aku mesti berhenti darinya:
1. Berangkat sekolah bersama Awan ✓
2. Belajar bersama Awan setiap pekan
3. Ke Notasi ditemani Awan
Embusan napasku mengiringi ketika aku memberi centang di poin kedua dan ketiga. Misi ini sudah setengah jalan, tapi perasaanku belum juga hilang. Aku mesti apa?
***
Suara deringan ponsel membuatku meraba-raba kasur dengan mata tertutup. Batinku merutuk siapa pun yang menganggu tidur siangku saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detoksifikasi Dopamin dalam Lima Babak
Teen Fiction[novel] • telah tamat pada 10/01/21 Gelora menyadari bahwa ketika jatuh cinta, otaknya memproduksi dopamin dalam jumlah berlebih yang membuatnya ingin selalu bersama Awan-pria yang ia jatuh cinta padanya. Namun, jatuh cinta pada Awan adalah bencana...