1.3. Bagian Tiga

2K 577 31
                                    

Kami segenap siswa IPA-D—dan barangkali seluruh siswa di sekolah ini—terjebak di dalam kelas karena di luar sedang hujan.

Sejak mata pelajaran terakhir, langit memang kelabu. Di menit-menit yang jalan menjelang bel sekolah berbunyi, dari balik jendela kulihat telah jatuh air hujan. Awalnya jarang, seiring waktu, hujan semakin sering. Lalu kami semua berakhir menatap miris hujan yang mencegah kami pulang.

Kusesalkan mengapa aku begitu abai dan tidak membawa jas hujan, padahal pagi tadi pun sesungguhnya langit tidak cerah sebagaimana biasanya. Setelah ini, akan kupastikan seluruh benda yang sewaktu-waktu dibutuhkan pengendara motor sedia selalu di bagasi Imora.

Sebagian teman-temanku telah beradaptasi dengan situasi terkini dan membunuh waktu dengan cara menonton film bersama. Jika suasana hatiku sedang baik, tentu aku telah menarik kursi dan duduk berderet-deret bersama mereka memandangi layar laptop yang tengah memutar film.

Namun, sekarang suasana hatiku sedang semi-baik-baik-saja. Hendak dikatakan buruk juga tidak, tapi dikatakan bahagia pun tentu tidak. Ini semua jelas karena Awan.

Aku tahu bahwa minggu ini akulah yang intens mengurangi interaksi dengannya, tapi rasanya tetap saja menyesakkan saat menyadari dia seperti tak peduli dengan sikapku. Padahal aku tak lagi membalas pesannya, aku bahkan dua hari ini tak lagi ke sekolah dengannya tapi Awan tidak juga protes. Aneh sekali, aku yang menjauh, aku juga yang gelisah. Betul-betul persis pencandu narkoba yang sedang ingin tobat.

Selain itu, kesan dari percakapan singkat antara aku dan Tania kemarin pagi mengikutiku hingga hari ini. Seperti dipahat, fakta bahwa perempuan seperti Tania-lah yang disukai Awan tak hilang dari kepalaku. Perlahan-lahan fakta itu mengikis kepercayaan diriku. Walaupun aku memang berniat melupakan perasaan ini, tapi tetap saja menyakitkan saat menyadari dirimu memang tak berpeluang dilirik oleh laki-laki yang kausuka.

Aku merutuki logikaku yang seperti pecundang di depan emosi, tak berkutik sama sekali. Aku tidak ingin bersedih tapi aku bersedih. Aku tidak ingin menyukai Awan tapi aku menyukai. Menyebalkan sekali.

"Lora, mau ikut ke kantin nggak?" ajak Ivana yang sudah berdiri di depan pintu bersama perempuan-perempuan lain. Panggilan itu memecah fokusku yang sebelumnya pada Awan dan Tania.

Aku menggeleng dan Ivana tak membujuk lebih lanjut. Saat terjebak hujan, para perempuan memang biasanya menerobos hujan menuju kantin terdekat untuk makan gorengan hangat. Aku selalu akan ikut, tapi kali ini aku lebih ingin di kelas saja.

Beraktivitas dengan yang lain rasanya bukan pilihan yang mengasyikkan saat ini. Jadi aku memutuskan untuk membunuh waktu dan membunuh Awan dari pikiranku dengan berbaring di lantai pojok belakang, tidak jauh dari sekumpulan anak laki-laki yang melingkar bermain game.

"Kalau hujan sudah berhenti, bangunin aku, ya," seruku pada anak laki-laki, terserah siapa pun yang mendengar.

"Sip!" sahut beberapa dari mereka sambil tetap fokus memandangi ponsel.

Kubaringkan tubuh di lantai dengan tas sebagai bantal. Aku menutupi tubuh bagian atas dengan jaket yang selalu kubawa dan menyumpal telinga dengan earphone. Tidur adalah pilihan yang tepat untuk melupakan masalah sejenak.

Dalam persiapan menuju alam mimpi, lagu telah silih berganti mengalun, sengaja kuhilangkan lagu Padi dari playlist agar tak mengingat Awan tapi aku kesal karena pada akhirnya, lagu apa pun yang kudengar, Awan adalah satu-satunya yang terbayang.

Maka kuputuskan untuk melepas earphone dan menjadikan hujan deras sebagai melodi pengantar tidur.

Belum jua aku dibuai mimpi, bayangan Awan sudah hadir dan berbaring di sebelahku. Ini bukan kenyataan, hanya memori masa lalu yang datang. Tentang Awan, hujan, dan matematika.

Detoksifikasi Dopamin dalam Lima BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang