2.2. Kesukaan

1.8K 549 40
                                    

"Kenapa maksa banget sih belajar bareng!?"

Akhirnya Awan lelah dan memutuskan bertanya setelah sebelumnya hanya mengucap penolakan saat aku terus menempel padanya. Kejadiannya lima tahun lalu, kami kelas tujuh saat aku memohon agar ia sedia mengajariku matematika setiap minggu dengan teratur.

Pagi-pagi sekali di hari minggu, aku menyambangi Awan yang tengah mencuci sepeda. Keinginan kuutarakan dan Awan sekonyong-konyong menolak tanpa perlu upaya untuk mengambil jeda mempertimbangkan.

Katanya ia trauma dengan sikapku yang malas dan tidak pernah fokus saat belajar Matematika. Sebelumnya, ia memang pernah berbaik hati mengajari setelah aku remedial Matematika dua kali. Tapi hanya sekali itu, dan hingga berbulan-bulan berlalu, ia tak lagi mau.

Namun, saat itu, aku bertekad untuk lebih keras kepala dibandingkan Awan. Penolakan Awan tidak berarti kiamat. Jadi aku mengikutinya kemana pun dan tak henti-hentinya menggumamkan hal yang terkait dengan pelajaran.

Ketika Awan tengah sarapan di dapur, aku ada di hadapannya, menopang dagu di meja makan.

"Lihat kamu makan gini, aku tuh jadi bersyukur tahu, nggak. Di luar sana banyak orang yang nggak bisa makan karena ekonominya terbatas. Uang tuh jadi benda yang penting banget, Wan. Kita mesti bisa kelola uang dengan baik kalau pengen terus bisa makan. Kita mesti jago hitung-hitungan, ya, nggak, sih? Jadi enak banget pasti kalau kita pintar matematika, bisa kelola uang dengan baik buat makan."

Ketika Awan bermain game di kamar, aku duduk di sampingnya sambil menatap takjub layar yang menampilkan game tembak-menembak.

"Wan, orang kalau jadi sniper gitu mesti pintar matematika nggak? Hm, kayaknya pasti lah, ya. Dia kan mesti pintar memperkirakan jarak tembak, biar sasaran nggak meleset. Enak banget, ya, kalau pintar matematika, bisa mudah bunuh orang."

Aku juga mengisi sofa ruang keluarga Awan ketika ia menonton serial kartun jepang kesayangannya.

"Wah, jago banget, sih, Naruto, bisa presisi gitu lompatnya dari satu pohon ke pohon lain, nggak jatuh. Mana larinya cepet banget juga. Jadi penasaran, deh, dia kecepatan larinya, tuh, berapa. Hmm, coba kalau aku pinter matematika, pasti aku tahu jawabannya dengan mudah."

Bahkan saat Awan ingin ke kamar mandi, aku mengikutinya langkah demi langkah sehingga ia tidak lagi berusaha menahan amarahnya, melontarkan pertanyaan di awal tadi, tentang mengapa aku memaksa.

"Papa maksa aku les, tapi aku nggak mau les yang kayak belajar di sekolah, bikin pusing," keluhku, "Kamu kan pintar, jadi kamu aja yang ajarin aku, ya? Ya? Ya?"

Awan mengembuskan napas, kami tengah bernegosiasi di depan toilet.

"Aku janji bakal fokus, aku janji ini cuma akan sampai kelas sembilan nanti," bujukku, "Ini cuma sepekan sekali, cuma sejam juga, ayolah, Wan."

Awan tahu bahwa ia tak mungkin lagi bisa menolakku, maka ia menjawab dengan embusan napas penuh beban, "Terserah kamu, Gelora, terserah kamu." Lalu membuka pintu toilet dan menutupnya dengan bantingan kesal tepat di depan wajahku.

Namun, aku tak peduli dengan sikap Awan. Apa yang ia katakan jauh lebih penting dan aku sudah berseru semangat sekali atas persetujuan yang keluar dari mulutnya.

Sepekan kemudian, aku bertandang ke kediaman Awan dengan sebuah buku tulis merah muda dan kue brownies buatan Mama.

Awan sudah menungguku di ruang keluarga sambil menonton televisi, di sebelahnya ada Kak Kaisar yang berbaring di karpet membaca buku. Aku tidak mengerti mengapa Kak Kaisar bisa fokus membaca dengan latar suara televisi yang menampilkan kartun bajak laut bertubuh elastis.

Detoksifikasi Dopamin dalam Lima BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang