Nolan memandang sedih pada kaki Awan yang digips. Jika boleh menangis, ia sudah pasti menjadi yang paling bersemangat meratapi keadaan Awan, tetapi ia sudah berjanji untuk senantiasa tegar sebagai seorang lelaki yang dibanggakan Papa Mama. Lagipula menangis hanya akan membuatnya selalu dipandang sebagai anak kecil, dan Nolan benci itu.
"Eh bocah datang sama siapa?" tanya Awan.
Pandangan nanar Nolan pada kaki Awan berpindah menuju wajah Awan yang segar dan tampak senang memakan apel.
"Sama Mama, tapi tadi Mama langsung pergi ke komunitas, ada urusan sebentar abis itu baru ke sini lagi."
"Oh..." Awan ber-oh panjang kemudian bertanya pelan. "Lora?"
Nolan menggeleng. "Kak Lora nggak ikut, dia siap-siap mau nge-band, katanya nanti malam dia bakal ke sini sebentar."
Awan mengangguk-angguk. Di ruang inap Awan kini hanya ada mereka berdua dan Nolan merasa bingung harus melakukan apa.
"Om, Tante sama Kak Kai mana?" tanya Awan.
"Ayahku kerja, Bunda pulang ke rumah sebentar buat masak, Kak Kai kuliah," jawab Awan kemudian ia menimbang sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. "Lan, Lora belakangan ini gimana keadaannya?"
Nolan menjauhi Awan dan berjalan mengitari ruang inap. "Kak Lora baik-baik aja, tapi dia jadi aneh." Nolan meneliti televisi di ruang inap Awan yang cukup besar, sebesar tevenya di rumah. "Aku bisa bawa PS aku ke sini nggak, Kak? Biar kita bisa main bareng," tanya Nolan antusias.
"Lora aneh gimana?" Awan meletakkan apelnya di nakas dan menatap Nolan penuh perhatian.
"Ya aneh, dia jadi nggak cerewet," jawab Nolan seadanya. "Jadi aku bisa bawa PS kan, Kak?"
"Nggak boleh, nanti dokter marah." Awan menjawab, membuat Nolan merengut seketika. Jika tidak ada hiburan, ia akan sangat malas menjenguk Awan. Tetapi dia juga ingin menjenguk tetangga yang sudah ia anggap seperti kakak. Tetapi di ruang inap ini tidak ada hiburan. Tetapi ia ingin bertemu Awan terus.
Ugh, Nolan mengeluh dalam hatinya dan mulai memikirkan solusi lain.
"Lan, kapan Lora mulai sering diam?" tanya Awan lagi.
Pertanyaan Awan membuyarkan kerja otak Nolan yang tengah mencari solusi, mendadak ia dipaksa mesti mengingat sesuatu yang tidak penting. "Kayaknya sekitar hampir seminggu setelah Kak Awan kecelakaan."
Awan terdiam sejenak lalu menggumam, "Berarti pas aku mulai diemin dia."
Nolan mendengar gumaman Awan. "Kak Lora sama Kak Awan diem-dieman? Berantem, ya?"
"Hah?" Awan terkejut sebelum akhirnya menjawab kikuk. "Sedikit."
Nolan yang tadinya berjalan tak tentu arah, kembali menghampiri Awan dan melempar pandangan serius. "Jangan lama-lama berantemnya, kasihan Kak Lora nangis mulu di kamarnya."
Awan balas menatap Nolan, terpaku. "Lora ... nangis?"
"Iya, aku denger samar-samar, terus pernah aku intip juga, aku pikir Kak Lora nangis karena capek belajar..." Nolan tidak melanjutkan ucapannya, dia justru teringat hal lain. "Kak, kalau aku bawa monopoli boleh, ya?"
Pertanyaan Nolan tidak mendapat tanggapan dari Awan yang tampak serius menunduk. Kening Nolan berkerut menatapnya. Apa membawa monopoli ke rumah sakit juga beresiko mendapat amarah dari dokter?
"Lan." Akhirnya Awan bersuara setelah beberapa menit lamanya membiarkan Nolan dilanda kebingungan. "Aku ada misi buat kamu."
Mata Nolan berbinar mendengar kata misi. Dia sangat suka bermain detektif-detektif. "Apa apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Detoksifikasi Dopamin dalam Lima Babak
Teen Fiction[novel] • telah tamat pada 10/01/21 Gelora menyadari bahwa ketika jatuh cinta, otaknya memproduksi dopamin dalam jumlah berlebih yang membuatnya ingin selalu bersama Awan-pria yang ia jatuh cinta padanya. Namun, jatuh cinta pada Awan adalah bencana...