Berada dengan Awan dalam satu ruangan adalah hal terakhir yang kuinginkan saat ini. Aku bisa semakin sakit kepala jika dia ada.
Aku ingin menjerit, berteriak, memintanya menjauh jika memang tak ingin lagi dekat denganku. Aku tak ingin ia berada di sisiku saat aku lemah secara fisik maupun mental seperti saat ini.
Aku tak ingin bergantung.
Aku tak ingin makin mencintainya.
Aku tak ingin terus-terusan diberi perhatian hingga salah paham.
Tidakkah Awan sadar bahwa perhatiannya selama ini membuatku kesulitan menjaga kewarasan? Menjaga agar aku tidak terlalu percaya diri bahwa dia juga mencintaiku.
Apa dia pikir ketika dia memberiku tiket konser aku akan dengan anggun menerimanya tanpa salah paham?
Saat dia bilang ingin selalu di sisiku, saat menjemputku sepulang les, saat mengajariku Matematika, saat seluruh perhatian dan kelakuan hangatnya tercurah cuma-cuma, dia kira aku sangat kebal hingga tak akan muncul rasa?
Dia bodoh atau apa?
Aku mendesah frustrasi sehingga Ivana menyadari dan dia mengatakan, "Kalau gitu aku juga di sini aja." Membuatku cukup lega karena Ivana sangat mengerti keinginanku.
Namun, tiba-tiba Luna menarik Ivana berdiri. "Nggak, kami juga pergi. Awan, aku titip Gelora."
Aku ternganga menatap Luna, setengah terkejut setengah heran. Mengapa dia yang cenderung kalem tiba-tiba melakukan pengkhianatan seperti ini.
Lalu saat aku melihat Luna mengangguk kecil pada Awan tatkala ia melangkah keluar ruangan menyeret Ivana, aku tahu ada yang sedang direncanakan di sini.
Seperti itulah seluruh teman-temanku pergi, meninggalkanku berdua dengan Awan dalam ruangan ini.
Aku menatap Awan sebentar. Ia melakukan hal yang sama dari tempat ia duduk. Lalu tanpa berkata-kata, aku menarik selimut UKS dan kembali berbaring, membelakangi Awan, menutup mata.
"Kamu kalau butuh sesuatu, bilang," kata Awan pelan setelah tak ada suara beberapa saat.
Aku tidak menjawab. Susah payah kupaksa diriku memejamkan mata tapi tak bisa.
Keheningan menjadi teman akrab kami beberapa minggu ini dan aku masih tidak terbiasa. Karena itu aku mengembuskan napas, melirih, "Aku butuh kamu pergi."
Tidak ada jawaban dari Awan. Aku tak bisa mengetahui bagaimana ekspresinya sebab aku memunggunginya. Tapi aku bisa merasakan ada sepasang mata yang lekat menatap punggungku.
Suasana UKS benar-benar sepi hingga membuatku merinding dan berdebar karena aku tahu Awan belum pergi.
"Kamu selalu aja egois, Ra," ucap Awan setelah diam lama.
Serta merta aku membuka mata karena ucapan yang begitu tiba-tiba dan tak terduga tersebut. Perlahan-lahan aku berbalik ke arah Awan dan menemukan ia menatapku tajam dengan matanya yang tampak marah namun juga sendu.
Jujur saja, aku tersinggung dengan ucapannya. "Maksud kamu?"
Raut Awan begitu tenang, berbeda denganku yang entah kenapa emosional. Aku merasa begitu sensitif sekarang.
"Kamu egois. Kamu menjauh dari aku tanpa alasan, bersenang-senang bareng teman band kamu itu dan ninggalin aku. Kamu selalu menyuruh aku pergi. Tapi kemudian datang kembali sesuka hati, seolah-olah kamu nggak pernah menjauh," terang Awan panjang lebar. "Lalu saat kamu mau, kamu kembali menjauh, dan menyuruh aku pergi lagi seperti sekarang ini. Kamu itu egois tau nggak, Ra."
KAMU SEDANG MEMBACA
Detoksifikasi Dopamin dalam Lima Babak
Teen Fiction[novel] • telah tamat pada 10/01/21 Gelora menyadari bahwa ketika jatuh cinta, otaknya memproduksi dopamin dalam jumlah berlebih yang membuatnya ingin selalu bersama Awan-pria yang ia jatuh cinta padanya. Namun, jatuh cinta pada Awan adalah bencana...