Ketika kau jatuh cinta, pernahkah kau bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di dalam tubuhmu sehingga dadamu berdebar, lidahmu kelu, dan hatimu cenat-cenut? Sebab aku mempertanyakan hal itu.
Pertanyaan tersebut tidak hadir di benakku sejak dahulu. Namun, sejak aku jatuh cinta untuk kali pertama, seketika saja pertanyaan itu menjadi hal yang senantiasa berkutat di kepalaku.
Sensasi jatuh cinta hadir dalam diriku pada suatu minggu saat aku kelas sepuluh. Hari itu aku menemani seorang perempuan yang selalu ada dalam hari-hariku sejak aku mulai bisa mengingat sesuatu. Dalam memoriku, tak pernah alpa presensinya; Gelora.
Ia saat itu sedang meremas tangannya dengan gelisah di atas meja. Kami duduk berhadapan tapi mata Gelora tak berhenti lari di seputar panggung kafe Notasi, ujung sepatu, lalu langit-langit. Sementara mataku hanya memandanganya.
Seluruh tubuhnya bergerak menandakan bahwa ia cemas dengan apa yang sedang menanti di depannya: penampilan perdana di panggung Notasi.
Padahal ia begitu bersemangat saat Kak Kai, kakakku yang merupakan salah satu founder Notasi, membolehkannya untuk tampil di malam senin ini. Tapi sekarang ia tampak seperti buronan yang berencana kabur. Kakinya menjejak-jejak lantai, berkali-kali ia melihat jam tangan, menyeruput minuman dengan canggung, dan aku hanya bersilang tangan di dada melihatnya cemas.
Jujur saja, ia menggemaskan. Oleh sebab itu aku betah berlama-lama menyaksikan ia bergerak gelisah di hadapanku. Tapi tentu aku tak setega itu membiarkan dia kalut seorang diri hingga bermenit-menit kemudian.
"Ra, penyanyi, penyanyi apa yang tujuan hidupnya untuk kalah?" tanyaku.
Sinar mata Gelora yang semula cemas berganti bingung menatapku. "Hah? Random banget deh tiba-tiba main tebakan."
"Udah jawab aja."
Ia tampak berpikir. Matanya menatap ke arah kanan dan tak fokus. Ia serius sekali memikirkan tebakanku. Sesekali dia menggumam "apa ya" sambil mengubah posisi duduknya. Aku memperhatikan semuanya dan terkekeh melihat usahanya.
"Nggak tahu deh, nyerah. Apa jawabannya?"
Sesuai dugaan, dia tidak akan mampu tahan memikirkannya selama tiga menit lebih. Aku menyengir dan berkata, "Tulus. To lose."
"Hah?" Gelora melongo dan aku tertawa karena puas dengan ekspresinya yang lucu.
"Apa sih, Wan, garing," cela Gelora kesal.
"Lagi nih, lagi," kataku bersemangat, "Siapa penyanyi yang doyan minum es teh?"
Untuk kedua kali, Gelora memaksakan dirinya memikirkan jawabanku. Meskipun ia tampak kesal, tapi aku tahu Gelora cukup kompetitif untuk menyerah sebelum berjuang.
"Lama banget, Ra, mikirnya," godaku.
"Ish." Gelora mencebik. "Ya udah nyerah, jawabannya apa?"
Cengiranku kembali terbit. "Sam Smith."
"Hah?"
"I want you es teh with me." Aku menyanyikan lirik lagu Sam Smith dengan gaya menyebalkan dan Gelora tersenyum geli karenanya.
"Apa sih, garing tau!" serunya separuh geli. "Eh tapi ini bisa sih, sedikit lagi lucu, Wan."
Aku tertawa mendengarnya. "Masih ada nih, alat musik apa yang ditiup?"
Mata Gelora memicing. "Alat musik yang ditiup?"
Aku mengangguk sembari melempar senyum misterius.
"Nggak mungkin dong jawabannya seruling," kata Gelora, memancingku.
"Ya kamu tebak aja dulu."
"Nggak mungkin juga harmonika dan lain-lain yang normal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Detoksifikasi Dopamin dalam Lima Babak
Teen Fiction[novel] • telah tamat pada 10/01/21 Gelora menyadari bahwa ketika jatuh cinta, otaknya memproduksi dopamin dalam jumlah berlebih yang membuatnya ingin selalu bersama Awan-pria yang ia jatuh cinta padanya. Namun, jatuh cinta pada Awan adalah bencana...