3.2. Satu Hari (Malam) Sebelum Tampil di Notasi

1.5K 539 97
                                    

Satu hari (malam) sebelum tampil di Notasi...

Aku, Awan, dan Tania duduk berderet-deret di bangku panjang teras gedung les. Sejak tadi, Tania di sebelahku hanya diam menerawang hujan yang tiada tampak reda, perasaannya sama sekali tak mampu kuterka. Sementara Awan, sejak ia duduk hingga kini, hanya menunduk memainkan ponsel tanpa suara. Tumben sekali ia tidak bersuara.

Di telepon tadi, saat Awan mengajak untuk pulang bersama, aku menjawab dengan meminta Awan agar bergabung bersamaku dan Tania di teras, menemani Tania menunggu jemputan sopir ayahnya. Sekarang kami bertiga duduk diam dikuasai keheningan. Hujan satu-satunya suara yang mengisi suasana.

Dalam keterdiaman ini, aku tak tahu apa yang dua orang di sebelahku pikirkan, tapi pikiranku berkutat soal:

"Bagaimana perasaan Tania sekarang?"

"Kenapa aku justru merasa agak berbangga dengan Awan yang datang menjemput?"

"Sepertinya Awan memang tidak marah seperti yang kukhawatirkan kemarin-kemarin."

"Aduh, apa kabar misiku jika aku terus labil seperti ini?"

Pertanyaan-pertanyaan besar itu menginvasi kepalaku, bersahut-sahutan dan membuatku pening.

"Kak Gelora?"

Aku tersentak saat mendengar Tania memanggil namaku. Tania duduk di antara aku dan Awan. Bukan, bukan Tania sengaja menjarak kami berdua. Tetapi Awan-lah yang begitu tiba di teras ini, mendudukkan dirinya tepat di samping Tania.

Saat aku menoleh pada Tania, aku menemukan Awan melakukan hal yang sama, sehingga mata kami tak sengaja bertemu.

"Kenapa?" tanyaku begitu berhasil fokus pada Tania saja, mengabaikan Awan yang kembali menekuri ponselnya.

"Kak Gelora senang nyanyi, ya?" tanya Tania.

Aku heran atas pertanyaan Tania tapi tak urung mengangguk. "Tahu dari siapa?"

Tania tersenyum. "Aku kan anggota OSIS, Kak. Aku tahu Kakak mau nyanyi di perpisahan nanti."

Aku mengangguk paham. Saat kualihkan tatapanku dari Tania, aku melihat Awan yang menatapku dari balik bahu Tania, tidak lagi bermain ponsel. Dia mengerutkan kening menatapku keheranan, dan aku ikut mengerutkan kening keheranan. Aku heran apa yang diherankan oleh Awan.

Tania sepertinya menyadari interaksi kami, jadi ia menoleh pada Awan. "Kak Awan nggak tahu soal Gelora nyanyi di perpisahan, ya?" tanya Tania.

"Iya," jawab Awan, "Gelora nggak cerita."

Aku memilih tidak merespon ucapan Awan saat ia mengatakan hal itu sambil menatapku lekat. Kuarahkan tatapanku pada Tania dan bertanya, "Kenapa nanya soal itu, Tan?"

Tania terkekeh. "Cuma penasaran aja, Kak Gelora mau jadi penyanyi?"

Aku tersenyum lalu mengalihkan tatapan ke arah hujan. "Iya."

"Sejak kapan Kak Gelora pengen jadi penyanyi?" tanya Tania lagi.

Aku tidak mengerti mengapa Tania jadi bertanya-tanya soal ini. Kusimpulkan, barangkali ia hanya ingin membangun dialog untuk meruntuhkan situasi canggung sebelumnya. "Kalau nggak salah sih sejak SMP."

"Berarti suka nyanyi-nya sejak SMP, dong?"

Aku meringis karena tidak cukup yakin dengan ingatanku. Seingatku, aku memang mulai sangat tertarik dengan dunia tarik suara saat kelas tujuh, sesaat setelah menonton band di acara festival sekolah. Sejak saat itu pula, aku begitu tertarik dengan gitar dan bass.

Detoksifikasi Dopamin dalam Lima BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang