5.2. Disimilasi

1.3K 459 44
                                    

Usai ujian semester, kami tidak memiliki kegiatan lagi. Tapi bukan berarti aku tidak ke sekolah.

Seluruh populasi IPA-D bahkan masih lengkap walau tak ada kegiatan. Kami menghabiskan waktu penantian pembagian rapor dengan mengobrol, menghabiskan uang jajan dan bermain sepuas hati.

Sebenarnya di minggu ini, ada beberapa hasil ujian yang dibagikan oleh guru mata pelajaran, itu merupakan alasan sebagian siswa masih termotivasi ke sekolah. Aku sendiri, motivasiku ke sekolah adalah untuk menghindari Awan di rumahku sendiri.

Sejak senin lalu hingga jumat ini, ia terus berada di rumahku dari pagi hingga petang, persis anak hilang yang tak punya rumah.

Ia bermain PS dengan Nolan, tapi kadang juga hanya menonton televisi, atau sekadar mondar-mandir seperti di rumah sendiri.

Mama dan Papaku tak keberatan dengan kehadirannya, apalagi Nolan. Akulah yang bermasalah.

Sejak melihatnya memeluk Tania, aku mati-matian memaki diri sendiri yang tidak jua mampu berhenti menyukai Awan. Di malam aku menangisi Awan karena cemburu, tekadku telah utuh untuk berhenti jatuh cinta dan mengubur segala jenis harapan. Tapi melihat Awan yangㅡseperti tak ada apa-apaㅡterus muncul di rumahku, lalu-lalang di depan mataku, aku bisa apa?

Saat aku akan berangkat ke sekolah, Awan sudah lebih dulu duduk di meja makan rumahku, lahap menyantap sarapan bersama Nolan. Ia tampak santai meski aku acuh tak acuh padanya.

Setiap aku pulang, Awan juga jadi yang paling duluan ada di rumahku, mengobrol dengan Mama sambil menanti Nolan pulang. Aku jadi bertanya-tanya, anak Mama sebenarnya siapa? Dan Awan, kenapa pula anak itu itu betah sekali di rumahku padahal aku sempurna mengabaikannya.

Pengabaian itu adalah upaya untuk mereduksi perasaan sakit setiap melihat Awan, karena aku akan otomatis mengingat bayangan ketika ia memeluk Tania. Cinta tidak berarti aku bisa dengan mudah lupa rasa sakit hati.

Anehnya, Awan sama sekali tak mempermasalahkan sikap abaiku seperti dahulu, ketika di awal-awal misi. Kini ia tampak sama tak acuhnya denganku.

Selama Awan di rumahku, ia sama sekali tak mengusikku. Di hari senin, ia memang sempat menawari untuk ke sekolah bersama.

"Ke sekolah bareng mau?" tanyanya waktu itu.

Aku menggeleng.

"Kakimu itu masih luka, emang bisa bawa motor?" Awan berdecak. "Udahlah, sama aku aja."

Aku menggeleng keras kepala. "Kamu jemput Tania aja, aku mau sama Imora."

Kening Awan terlipat. "Siapa Imora?"

"Nama motorku," jawabku pendek.

Senyum Awan terbit mendengar jawabanku. Mungkin ia geli karena aku memberi nama pada motor merah muda kesayanganku. Tapi lantas kenapa? Aku tahu Awan diam-diam memberi nama boneka kakao pemberian bundanya. Kami tiada berbeda, dia semestinya tidak usah sok geli.

Rautku jadi makin tertekuk karena respon Awan waktu itu. Belum sembuh luka sakit hatiku karena cemburu, ia malah menambahnya dengan sikapnya yang menyebalkan.

Dengan kesal aku menjauhi Awan menuju motorku sendiri. Ketika aku membelakanginya, bisa kudengar tawa Awan yang membahana. Anehnya, bukan makin kesal, aku justru tak kuasa menahan senyum. Aku senang menjadi alasan Awan tertawa.

Ketika aku melintas kemudian dengan Imora, melewati Awan yang masih berdiri di teras rumahku, ia berseru, "Imora, jagain Gelora, ya!"

Aku tidak menoleh, mengerucutkan bibir untuk menahan senyum.

Namun, setelah interaksi pagi itu, Awan benar-benar tidak mengusikku sama sekali. Ketika aku langsung masuk ke kamar, Awan tidak menahan atau mencoba untuk mengajakku mengobrol. Ia fokus bermain dengan Nolan saja.

Detoksifikasi Dopamin dalam Lima BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang