2.4. Kesadaran

1.7K 542 27
                                    

Awan benar-benar membuktikan ucapannya tentang tak kan meninggalkanku. Di senin pagi yang mendung, aku sudah menemukan Awan duduk santai di atas motornya, di depan rumahku.

Hal yang mengejutkan karena aku tahu sekali Awan begitu susah bangun pagi. Dia tengah makan roti saat aku berdiri membelalak di depan pintu. Tangannya melambai padaku dan ia tersenyum dengan mulut penuh.

"Jas hujan jangan lupa, Ra!" seru Awan.

Aku tentu tak akan lupa. Kejadian terjebak hujan beberapa hari lalu sudah cukup menjadi pelajaran untukku. Tanpa menjawab Awan, aku menuju garasi dan mengeluarkan motor dengan lincah, aku sudah terbiasa.

Kulihat Awan dengan sigap menelan seluruh rotinya ketika aku sudah hampir keluar pagar rumah, membuatku cukup terusik. Awan tidak perlu tergesa-gesa seperti itu.

"Kenapa repot nemenin lagi, sih?" rutukku gelisah. Kini motor kami berisisian di depan gerbang rumahku. "Kamu kan susah bangun pagi, nggak usah lebay, deh, jangan maksain diri. Nggak usah pakai alasan jaga-jaga segala. Kemarin juga kita berangkat terpisah dan aku baik-baik aja."

Aku betulan risau dengan tindakan Awan ini. Jika ia menjadi gigih, aku akan kesulitan mendetoksifikasi dopamin. Sekarang saja, meski wajahku tampak kesal, aku tak bisa menafikkan bahwa ada sensasi berbunga di dalam dadaku. Ada perasaan senang memikirkan Awan yang agaknya tak ingin aku jauh. Ada perasaan terharu karena Awan berusaha membuktikan janjinya kemarin malam. Tapi perasaan seperti itu hanya akan memekarkan sirkuit halusinasi di kepalaku, tentang aku dan Awan dan lebih banyak kebersamaan; tentang aku dan Awan dan masa depan.

"Cerewet, ah." Awan menyalakan motornya, mengabaikan celotehku. "Ayo berangkat, kamu jalan duluan."

Aku memelototinya karena berusaha mengabaikan ucapanku. Tapi meski bahasa mataku menyiratkan aku kesal dengan Awan, tubuhku mengkhianati usaha menjauhi Awan yang kulakoni. Tanpa sempat berpikir panjang, aku meraih botol minum yang kuletakkan sebelumnya di kantong motor, memberikannya pada Awan tanpa menatapnya. "Minum dulu, masa abis makan nggak minum, kebiasaan banget."

Awan meraihnya dengan girang. "Makasih."

***

"Kak Gelora, Kak Awan!"

Adalah Tania yang memanggil kami dan berlari kecil mengampiri setelah menyimpan helm di pos satpam. Setelah memutuskan datang lebih pagi ke sekolah rabu lalu, aku memang selalu bertemu Tania dan setiap pagi berbagi cerita.

Kupikir dia tipikal siswa akademisi yang hanya mementingkan belajar, rupanya ia pun senang menonton film sepertiku. Topik film-lah yang selalu kami bahas ketika bertemu, kadang aku merekomendasikan judul dan begitu selesai menontonnya, ia akan membahas film itu di sepanjang jalan menuju kelas. Pada hari sabtu kemarin, bahkan aku menemaninya sarapan di kantin karena pembahasan kami terkait film Inception semakin menarik.

Misi detoksifikasi dopamin menciptakan jarak antara aku dengan Awan tapi justru mendekatkanku dengan Tania beberapa hari belakangan ini. Terhitung baru memang, tapi rasanya begitu menyenangkan mengobrol bersamanya. Aku jadi mengerti mengapa Tania tetap disukai meskipun selalu meraih rangking satu paralel, posisi sulit yang biasanya dinyinyiri banyak siswa.

"Tumben Kak Awan datang pagi," komentar Tania begitu kami telah jalan beriringan. Dia berada di antara kami.

"Gelora mesti diawasi biar nggak ugal-ugalan," sahut Awan enteng.

Aku sudah ingin sekali mencubit kulit lengannya, beruntung jarak kami dipisah Tania yang sekarang terkekeh.

"Aku nggak ugal-ugalan, ya. Buktinya udah empat hari aku berangkat sendiri dan masih utuh," sangkalku.

Seringai Awan terbit dan jelas sekali ia mencemooh. Aku tidak pernah mengerti laki-laki itu, dia kadang baik tetapi lebih sering membuatku kesal jika bertemu.

"Itu kebetulan aja," katanya.

"Eh, mana ada kebetulan yang berkali-kali." Aku melipat tangan di depan dada, menolehkan tubuh ke arah Awan hingga kini langkahku tak lagi lurus ke depan, tapi serong. "Udah deh terima aja, aku emang jago kalau soal berkendara, cuma kemarin-kemarin malas aja bawa motor sendiri."

Sekarang Awan sudah tertawa, menarik perhatian beberapa siswa yang juga berjalan di sekeliling kami. "Oke kamu memang jago bawa motor, saking jagonya, pas tikungan tadi hampir jatuh konyol."

Awan mengungkit kejadian di tikungan perumahan tadi. Memang benar aku hampir jatuh, itu karena aku tidak fokus saat mengintip Awan melalui spion. Sudah kubilang, spion memang tidak cocok denganku jika sedang ada Awan. Beruntung aku bisa segera menyeimbangkan motor kembali.

Meski apa yang dikatakan Awan benar, aku tetap tidak terima dipermalukan begini di muka Tania. "Seenggaknya aku nggak pernah jatuh dari sepeda terus kena tai kerbau."

Wajah Awan memerah dan aku tersenyum jemawa. Awan tidak pernah suka jika aku mengungkit pengalaman bersepeda kami saat kelas lima dulu. Kami bermain di lapangan tak jauh dari perumahan kami yang sering dijadikan tempat berolahraga warga perumahan.

Hari itu, entah dari mana, ada kotoran kerbau di lapangan tersebut. Kami berlomba dengan sepeda masing-masing dan aku tertinggal di belakang. Kayuhan Awan begitu bertenaga dan ia menoleh-noleh ke arahku sambil menertawakan ketertinggalanku. Ia begitu bahagia sehingga terlambat menyadari petaka kotoran kerbau di hadapannya. Begitu ia kembali menatap ke arah depan, ia mendapati kotoran yang sejengkal lagi akan dilibas ban sepeda.

Refleks Awan membelokkan sepeda ke arah kanan. Tapi waktu itu, Awan hanya anak kelas lima sekolah dasar yang masih berjinjit untuk sepeda cokelatnya dan tidak cukup baik mengelola keseimbangan diri di situasi kritis. Singkatnya Awan terjatuh dan menyebabkan kaki serta lengan kirinya berlumur kotoran kerbau.

Aku terbahak menyaksikan tragedi di hadapanku sementara Awan sudah menangis meraung-raung, tak terima dirinya sekejap beraroma kotoran kerbau.

"Gelora!" Awan berseru tak suka atas ucapanku, tapi aku mengangkat kedua alis, menantang. Tania sendiri sudah tertawa-tawa sedari tadi. Barangkali ia membayangkan Awan yang berlumuran kotoran kerbau.

Jika ini di rumah, aku yakin Awan sudah akan menerjang dan menggelitik telapak kakiku. Lalu aku akan mencubit pinggangnya dan kami berakhir dalam pergulatan yang penuh teriakan kesakitan dan tawa kegelian.

Tapi ini di sekolah, aku yakin Awan tidak akan mampu berbuat apa-apa.

"Aw!"

Rupanya aku salah. Aku berseru kaget saat Awan menarik rambutku yang diikat rapi, sehingga kepalaku tersentak ke belakang. Ia bahkan menarik ikat rambutku, membuat rambut yang telah kutata sedemikian rupa menjadi berantakan. Belum sempat aku bereaksi, Awan sudah menarik tangan Tania untuk diajak berlari.

"Ayo, Tan, aku temani kamu sarapan!" seru Awan di tengah langkah larinya saat menarik pergelangan tangan Tania.

"Awan!!!" seruku gusar.

Aku mengejar mereka yang unggul di depanku. Sesaat dadaku di penuhi amarah atas tindakan Awan, tapi melihat Tania yang menoleh ke arahku dengan senyum bahagia sekaligus geli, lalu Awan yang menoleh dengan seringai penuh ejekan, langkahku berhenti.

Mereka berdua telah hilang di balik tikungan dan aku terpaku di tempat aku berhenti, mengatur napas, membiarkan mereka berlalu.

Hatiku yang tadi diliputi amarah, sekarang diselimuti perih. Kuusap rambutku yang berantakan sambil menelan rasa pahit. Ikat rambutku dibawa lari Awan dan sekarang aku harus mengurai rambut sekaligus pedih di dada.

Aku menyadari bahwa ternyata Awan pun tahu kebiasaan Tania datang pagi. Hal yang membuatku kembali tertampar. Tentu saja Awan tahu;

mereka sepasang kekasih.

•••

Detoksifikasi Dopamin dalam Lima BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang