Awan yang duduk di teras malam-malam adalah sebuah anomali. Itulah mengapa aku tidak bisa mengabaikan hal tersebut.
Ketika kulihat kembali Awan duduk di teras rumahnya sabtu malam ini, sebelum aku pergi lesㅡsama seperti malam kemarinㅡsepanjang jalan aku menerka-nerka, ada apa dengan Awan.
Hingga aku pulang les, lagi-lagi ada Awan di teras. Ketika ia melihatku dan Imora tiba di depan gerbang rumah, ia beranjak dari kursi terasnya. Namun, sebelum ia menutup pintu rumah, aku mencegah.
"Awan!" teriakku dari gerbang rumah. Semoga tetangga tidak ada yang terganggu.
Awan menoleh padaku tapi tidak menjawab. Dengan Imora, aku berbelok ke arah halaman rumah Awan. "Kamu ngapain deh di teras malam-malam sendirian?"
"Cari sinyal," jawab Awan sekenanya. Tentu saja aku tidak percaya.
Mataku memicing curiga. "Kamu nonton yang nggak-nggak ya di hp? Makanya sembunyi ke teras?"
Awan ternganga. Ia yang berdiri di teras rumah berjalan mendekat padaku. "Mana ada orang yang sembunyi ke teras, Ra? Orang sembunyi tuh di kamar."
"Ya terus kamu ngapain dong dua hari berturut-turut nongkrong di teras?"
"Nggak usah kepo," jawab Awan yang sudah berdiri di depanku, tangannya bertengger di atas kaca spion Imora.
Aku menekuk wajah. Benar, untuk apa juga aku ingin tahu. Bukankah aku berniat menghindari Awan untuk sementara? Tapi melihat Awan yang bertingkah lain daripada biasanya, aku sedikit khawatir dan penasaran, apa Awan ada masalah?
Kami jarang bercerita akhir-akhir ini. Barangkali Awan sedang memiliki masalah hingga akhirnya menyendiri di teras setiap malam, untuk merenungi masalah itu.
"Kamu lagi ada masalah, ya?" tanyaku pelan.
Awan mengangkat bahu. "Sedikit."
Aku mengangguk-angguk. Jika ini dulu, pasti aku sudah meminta Awan untuk menumpahkan segalanya. Aku percaya bahwa masalah itu sebaiknya diceritakan agar setidaknya lega. Tapi karena sekarang aku sedang dalam misi penting, aku memberi saran lain pada Awan.
"Kamu kalau ada masalah mending cerita ke Kak Kai, Wan, biar lega, jangan dipendam sendiri, nanti sakit," kataku.
Awan mengangguk saja, sepertinya ia tidak peduli dengan saranku. Dasar menyebalkan. Padahal aku peduli.
"Omong-omong itu dagu kenapa memar? Lecet juga," tanya Awan, memberi respon tak terduga. Matanya menyipit memperhatikan wajahku.
Saat tangan Awan terangkat ke arah daguku, aku lekas menahan tangannya. Sentuhan Awan berbahaya untuk pertahananku. "Nggak apa-apa."
Usai mengatakan itu, aku bergegas menyalakan Imora. "Ya udah, aku balik dulu. Ingat, kalau ada masalah, curhat ke Kak Kai. Kamu jangan nongkrong di teras lagi besok, bahaya tau sendirian di teras rumah, sepi lagi, ntar kesurupan."
Tanpa menunggu jawaban Awan, aku pergi begitu saja.
***
Di rumah, aku bergegas mencari kotak P3K dan membawanya ke kamarku. Aku tadi terjatuh dari motor saat menghindari kucing yang melintas di depan kompleks perumahan. Daguku memar terhantam aspal, beruntung gigiku setia di tempat. Itulah pentingnya memakai helm dengan benar.
Namun, aku tidak mengkhawatirkan dagu melainkan lutut dan betis yang kuyakin memar dan berdarah di balik celana. Dengan pelan aku mengangkat celanaku dan tampaklah luka yang cukup perih karena terbaret aspal dan terkena batu-batu kecil.
Sial sekali aku malam ini.
Dengan telaten aku mencoba membersihkan luka sendiri. Aku takut jika Mama atau Papa tahu, ia akan melarangku membawa Imora lagi. Aku tidak mau. Aku dan Imora adalah sahabat karib sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detoksifikasi Dopamin dalam Lima Babak
Teen Fiction[novel] • telah tamat pada 10/01/21 Gelora menyadari bahwa ketika jatuh cinta, otaknya memproduksi dopamin dalam jumlah berlebih yang membuatnya ingin selalu bersama Awan-pria yang ia jatuh cinta padanya. Namun, jatuh cinta pada Awan adalah bencana...