2.5. Kekecewaan

1.5K 533 47
                                    

Semestinya aku tidak meragukan niat Awan ketika berbicara soal akan-menemaniku-berangkat-sekolah-lagi. Kemarin, aku sempat mengira bahwa semangat bangun paginya hanya muncul sekali. Tapi pagi ini, lagi-lagi kulihat Awan sudah duduk di jok motornya yang terparkir di  depan gerbang rumahku.

Aku tidak bersusah diri dengan menyapa. Jika Awan keras kepala dengan tekadnya yang konyol, maka aku akan lebih bersungguh-sungguh lagi dalam menghalau perasaanku yang konyol. Segala langkah akan kulakukan mulai sekarang, bahkan jika itu termasuk bersikap tak acuh padanya.

Segera kulangkahkan kaki menuju motorku sendiri lalu menghampiri Awan yang telah selesai dengan rotinya.

"Ayo," ajakku singkat tanpa menatapnya.

"Ra," panggil Awan yang menghentikan niatku melajukan motor kembali.

Aku menoleh padanya, menggerakkan alis ke atas untuk bertanya kenapa tanpa suara.

Awan tidak segera menjawab, ia tampak sibuk memikirkan ingin mengucapkan apa, membuatku berdecak tak sabar. "Mau ngomong apa?"

"Sorry, ya, Ra," ucap Awan akhirnya, tampak sungkan, "Kita nggak bisa berangkat bareng. Kemarin Tania minta jemput karena tahu aku bisa bangun pagi. Aku nggak mungkin nolak."

Aku terdiam sejenak mendengarnya. Awan menatapku dengan cengiran yang selalu ia beri jika merasa bersalah. Seulas senyum kutunjukkan padanya. "Santai aja kali, Wan. Kirain mau ngomong apa. Ya udah, sana jemput Tania."

Awan belum pergi, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ikat rambut yang kemarin pagi ia lepas dari kepalaku. Tangannya terulur mengembalikan benda tersebut masih dengan. "Ini."

Aku meraih ikat rambut tersebut tanpa suara.

"Kamu marah, ya, kemarin pagi?" Intonasi suara Awan biasa saja, tapi aku merasa ada tuntutan darinya agar aku jujur.

Aku berpura-pura biasa saja dengan pertanyaan Awan yang sesungguhnya mengejutkanku. Sejak kapan Awan begitu peka. "Nggak marah, mana mungkin aku marah cuma gara-gara kamu tarik rambutku, aku udah biasa kali."

"Terus kenapa nggak kejar ke kantin?"

Aku mengangkat bahu. "Lagi nggak pengen keringetan pagi-pagi. Kenapa, sih, tiba-tiba kritis gini? Biasanya juga aku marah, kamu nggak peduli."

Ketika kamu gugup dan terdesak, satu-satunya hal yang terpikirkan untuk dilakukan adalah menyerang. Dan itu yang tengah kulakukan saat ini; menyerang dan mencoba menarik diri mejauh topik pembahasan utama.

Awan tidak membalas seranganku. Ia hanya diam dan menatapku lekat-lekat. Tatapannya membuatku salah tingkah sehingga tidak mampu untuk tidak memalingkan wajah.

"Udah ayo pergi," kataku, "Kamu pergi jemput Tania sana."

Dan tanpa menunggu kata-kata Awan lagi, aku melajukan motor meninggalkan Awan. Di persimpangan jalan raya setelah keluar dari komplek perumahan kami, Awan membunyikan klakson motornya sebagai sinyal pamit menjemput Tania. Ia akan belok ke kananㅡarah rumah Taniaㅡsementara aku tetap di jalur utama.

Aku balas membunyikan klakson dan menoleh sebentar untuk tersenyum pada Awan. Dia melihat senyumku. Dia tidak membalasnya.

Lalu begitu kami sudah benar-benar tak saling melihat, aku menurunkan kaca helm bersama dengan pudarnya senyumku.

Persetan semua ucapan Awan. Persetan.

Semestinya aku memang tidak berhenti meragukan niat Awan soal tidak-akan-pergi-dariku.

***

"Dengar hei dengar!" seru Rafka sang ketua kelas di depan papan tulis.

Detoksifikasi Dopamin dalam Lima BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang